Sejarah Magelang

Seminari Mertoyudan Magelang, Cikal Bakal Pendidikan Misionaris Katolik di Indonesia

Seminari Mertoyudan atau Seminari Menengah Petrus Kanisius Mertoyudan, berdiri sejak 1912, adalah tempat pendidikan calon pastor setara pendidikan SMA.

Featured-Image
Kompleks Seminari Mertoyudan pada era Belanda (Dok. Bagus Priyatna)

Apahabar.com, MAGELANG - Seminari Menengah Petrus Kanisius Mertoyudan atau Seminari Mertoyudan, berdiri di Magelang sejak 1912, adalah tempat pendidikan para calon pastor setara pendidikan SMA.

Magelang adalah kota yang menjadi saksi berkembangnya agama Katolik di Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan adanya sekolah misionaris yang didirikan sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Sekolah tersebut adalah Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Keuskupan Agung Semarang.

Seminari Menengah Petrus Kanisius Mertoyudan atau akrab disebut Seminari Mertoyudan adalah tempat pendidikan untuk para calon pastor setara pendidikan SMA.

Lokasi Seminari Mertoyudan berada di tepi jalan raya Magelang-Yogyakarta, tepatnya di Jalan Mayjen Bambang Soegeng Nomor 15, Glagak, Sumberrejo, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah 

Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius dipromotori dua pemuda lulusan Kweekschool Muntilan yakni Petrus Darmaseputra dan F.X. Satiman.

Baca Juga: Masjid Agung Payaman dan Pondok Sepuh Magelang, Wisata Religi Sejak Masa Kolonial

"Keduanya kemudian menghadap Romo Vanlith ke Munthilan dan baru mendapat  izin resmi dari Roma pada 30 Mei 1912 untuk mendirikan kursus resmi agama Katolik," kata sejarawan Magelang, Gusta Wisnu Wardana, Minggu (12/11).

Menurut Gusta, didirikannya Seminari Mertoyudan adalah bentuk keseriusan rohaniawan Katolik untuk menggarap tanah Jawa sebagai ladang misi penyebaran agama.

Sebelum menjadi Seminari Mertoyudan, sekolah untuk rohaniawan Katolik adalah Kolese Xaverius Muntilan dengan nama Seminari Tinggi Santo Paulus.

Para siswa yang ingin menjadi rohaniawan Katolik tak bisa sembarangan, ada syarat yang harus dilakukan.

Syarat untuk sekolah imam di Seminari Mertoyudan adalah harus tamat pendidikan tingkat rendah seperti Hollandsche Inlandsche School (HIS) dan Europesche Lagere School (ELS).

Seiring berjalannya waktu, peminat Seminari Mertoyudan terus mengalami peningkatan hingga awal ajaran 1938 - 1939.

"Karena siswanya banyak, tidak cukup ntuk tinggal di Seminari Tinggi di Muntilan. Jadi Kolese Xaverius Muntilan dengan Seminari Santo Paulus dan Seminari Santo Canisius di Kolese St. Ignatius Yogyakarta diregrub," jelasnya.

Setelah ketiga kolase tersebut dijadikan satu, pemerintah Hindia Belanda membangun Seminari Menengah Mertoyudan.

Lebih lanjut, Gusta menuturkan, didirikannya bangunan kompleks Seminari Mertoyudan dirancang oleh Bouwbearou H Pluyter.

Sebagai informasi, H Pluter merupakan seorang arsitek kawakan yang tinggal di Magelang.

"Penggarapan gedung Seminari Mertoyudan rampung pada Januari 1941," tuturnya.

Setelah gedung sekolah bisa ditempati, pemerintah memindahkan seminaris, staf formator, dan perlengkapan serta perkakas Seminari Menengah dari Yogyakarta.

Uniknya, 'boyongan' para seminaris tersebut dilakukan besar-besaran dengan menyewa 23 gerbong kereta milik NIS.

Seminari Mertoyudan saat ini (Apahabar.com/Arimbihp)
Seminari Mertoyudan saat ini (Apahabar.com/Arimbihp)

Namun sayang, Seminari Mertoyudan sempat ditutup dan mengalami alih fungsi saat Jepang menduduki Magelang.

Saat Jepang menduduki Seminari Mertoyudan dan sekolah ini dialih fungsikan menjadi Sekolah Pertanian Nogako.

Tak hanya itu, berdasarkan cerita tutur yang beredar di masyarakat, Seminari Mertoyudan pernah dijadikan sebagai Kamp Interneer Jepang bagi para warga Eropa.

Surutnya Seminari Mertoyudan juga terjadi saat para seminaris Eroma dipulangkan ke negaranya pada 5 April 1942 pasca tragedi kekalahan Belanda pada Jepang.

Baca Juga: Krankzinningengistcht te Magelang, RSJ Terbesar di Jawa Tengah Berusia Lebih dari 100 Tahun

Selain mengalami berbagai alih fungsi, Seminari Mertoyudan sempat dibumi hanguskan oleh para republikan dan banyak sisa bangunannya yang ikut dijarah.

"Tragedi itu juga banyak memakan kerugian, pelakunya orang-orang Indonesia sendiri," imbuhnya

Seiring berjalannya waktu, lanjut Gusta, Seminari Mertoyudan kembali dibangun oleh Keuskupan Agung Semarang.

"Pembangunannya pada era kisaran 1949 dan selesai pada  Agustus 1952," jelasnya.

Hingga saat ini, Seminari Mertoyudan masih aktif dan melanjutkan misinya mendidik para calon imam Katolik.



Editor
Komentar
Banner
Banner