apahabar,com, MAGELANG - Magelang memiliki klenteng yang berumur ratusan tahun dengan keunikan yang tidak ditemui di daerah lain. Keunikan Klenteng Hok An Kiong yang berada di Muntilan, Kabupaten Magelang adalah memiliki hiolo terbesar di Asia Tenggara.
Tempat Ibadah Tri Dharma atau secara umum disebut sebagai Klenteng adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa. Hiolo adalah gentong abu tempat untuk menancapkan dupa ketika sembahyang.
Hiolo biasanya ditempatkan di depan altar sembahyang atau pintu masuk yang mudah dilalui umat yang akan bersembahyang. Hiolo yang ada di Klenteng Hok An Kiong terbuat dari perunggu berlapis kuningan. Beratnya mencapai 5,8 ton dengan diameter 178 sentimeter, dan tinggi 158 sentimeter.
"Fungsi hiolo juga sebagai media komunikasi dengan Maha Pencipta, Tuhan kami," kata Hok An Kiong, Sutantyo (50), salah satu warga yang sedang beribadah di klenteng tersebut.
Sutantyo menuturkan, menancapkan hio (dupa) pada hiolo ada anjuran cara tersendiri. Adapun cara menancapkan dupa pada hiolo yakni harus dilakukan dengan khidmat dan khusuk.
Tak hanya itu, bara api hio harus berada di tingkat yang sejajar dengan titik tengah di antara kedua alis mata.
"Hio dipegang tegak lurus, badan tegak lurus dan membungkuk mendalam secara sempurna," ujarnya menjelaskan.
Sutantyo menyebut, sebagian umat juga meyakini, menancapkan hio sebaiknya setengah mungkin dan tegak lurus.
"Jangan menancap hio semuanya sekaligus, sembarangan atau malang melintang ke mana-mana," imbuhnya.
Menurut dia, hal tersebut bertujuan melatih diri agar tertib dan membangun kebersamaan dan bukan egoisme. Umat yang tidak patuh atau suka melempar hio seenaknya di hiolo membuat orang lain yang mau bersembahyang kesulitan.
"Kalau menancapkan hio saja sudah ngawur, artinya sudah menanamkan mindset seenaknya dan tidak perduli dengan orang lain," tuturnya.
Keunikan lainnya adalah hiolo di Klenteng Hok An Kiong adalah didatangkan dan dibuat langsung dari Tiongkok.
"Hanya Tiongkok yang bisa membuat Hiolo berbahan perunggu sebesar ini, maka kami mendatangkan dari sana pada 2002," ujarnya menceritakan pada bakabar.com.
Hingga kini, tempat abu dupa tersebut masih kokoh dan digunakan oleh masyarakat etnis Tionghoa untuk memanjatkan doa.