bakabar.com, MAGELANG - Keberadaan alun-alun identik dengan pusat berkumpulnya masyarakat di sebuah daerah. Alun-alun kota Magelang telah ada sejak era kolonial.
Alun-alun adalah salah satu ruang terbuka hijau yang dibuat pemerintah Hindia-Belanda di tiap-tiap daerah jajahannya. Hampir seluruh daerah di Indonesia khususnya di Jawa Tengah memiliki alun-alun dengan pemetaan serupa sejak zaman kolonial.
Seperti daerah lainnya, Kota Magelang juga memiliki alun-alun yang kini berkembang pesat menjadi tempat berkumpulnya masyarakat sekaligus kawasan aktivitas komersial.
Alun-alun Kota Magelang yang berada di Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang memiliki keistimewaan yakni dikelilingi 4 rumah ibadah yang berbeda.
Posisi Gereja Kristen, Katolik, Masjid, dan Klenteng berada pada satu area dalam lingkaran Alun-alun Magelang dan berkembang dengan damai.
"Alun-alun Magelang dibuat 1812 ketika Kerajaan Inggris mengambil alih Hindia Belanda dari jajahan Kerajaan Belanda," kata sejarawan Universitas Sebelas Maret, Susanto, Rabu (22/11).
Pembangunan Alun-alun Magelang hampir bersamaan dengan diangkatnya Mas Ngabei Danuningrat sebagai Bupati pertama Magelang oleh Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles.
"Gelar Mas Ngabei Danuningrat waktu itu adalah Adipati Danuningrat I," katanya.
Setelah sah menjadi Bupati Magelang yang pertama, Adipati Danuningrat I memulai pembangunan di wilayahnya, diawali dengan membuat alun-alun, Groote Moskee dan Regentwoning (rumah dinas).
Pembangunan alun-alun di masa itu dinilai sangat penting dan wajib bagi seorang penguasa Kadipaten seperti Mas Ngabei Danuningrat 1.
Sebab, berdirinya alun-alun menjadi penyempurna Kadipaten sebagai simbol Ketuhanan.
"Dalam konsep Ketuhanan selalu ada ruang kosong ada kehidupan yang dilambangkan dengan pohon beringin," ujarnya.
Tak hanya itu, keberadaan alun-alun dalam filosofi Jawa juga menggambarkan adanya hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya.
Alun-alun dalam filosofi Jawa juga diyakini sebagai adanya hubungan horisontal antara manusia dengan alam dan sesamanya.
Alun-alun Magelang Berganti Kekuasaan
Carut marut perang dunia yang berimbas pada kedaulatan Indonesia di masa itu turut berdampak pada kepemilikan tampu kekuasaan Magelang.
Setelah Inggris kalah di masa itu, Magelang kembali di bawah pemerintahan Hindia Belanda pada 1813.
Pada saat bersamaan, pemerintah Hindia Belandapun mulai mengembangkan Magelang dengan melengkapi sejumlah infrastruktur peribadahan.
Infrastruktur keagamaan di sekitar alun-alun yang dibangun di era Hindia Belanda yakni GPIB (1817), Klenteng Liong Hok Bio (1864), Gereja Santo Ignatius (1865), Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (1878), Kantor Pos (1845), Menara Air atau Water Torent (1920).
"Pembangunan Magelang tergolong pesat, karena pusat pemerintahan Hindia Belanda salah satunya ada di kota itu," ujarnya menjelaskan.
Seiring berjalannya waktu, keberadaan alun-alun Magelang memiliki berbagai peralihan fungsi. Bukan cuma simbol kebesaran dan wibawa penguasa, namun juga ruang terbuka hijau.
"Saat ini di semua daerah bukan hanya Magelang, alun-alun jadi tempat digelarnya event besar atau kecil, tempat berjualan, perputaran ekonomi," pungkasnya.