bakabar.com, JAKARTA - Gas bumi dinilai menjadi pilihan bagi Indonesia selama masa transisi energi sebelum beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT).
Komisaris Utama PT PGN Tbk Arcandra Tahar dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (14/5) menjelaskan saat ini pemerintah masih berkutat dengan fosil dan suatu saat nanti akan berlanjut ke zero emisi. Di antara fosil dan zero emisi Indonesia mengedepankan transisi energi.
"Masa transisi, energi fosil yang impact emisi terhadap environment-nya kecil atau minimum adalah gas bumi. Maka, gas menjadi pilihan yang harus kita gunakan selama masa transisi, sebelum nanti benar-benar beralih ke NRE (EBT)," katanya.
Menurut Arcandra, gejolak geopolitik berpengaruh terhadap komoditas energi yakni minyak dan gas di dalam negeri. Dari sisi dalam negeri, perlu mempersiapkan diri terhadap naik-turunnya harga komoditas dan bersiap dengan apa yang akan dikerjakan.
Baca Juga: Pertamina EP Subang Field dan BUMD PT SEA Bekerja Sama Kelola Gas Bumi
"Salah satunya dengan memanfaatkan peluang di masa transisi energi menuju energi terbarukan," ujarnya.
Arcandra menegaskan gas bumi merupakan salah satu komoditas energi yang ikut berperan dalam mendorong ketahanan dan kemandirian energi Indonesia saat ini.
Berbasis pada undang-undang dengan sumber daya alam (SDA) dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, maka prinsip pengelolaan SDA harus diarahkan pada upaya untuk memperpanjang rantai pengolahan di dalam negeri agar kebermanfaatannya bagi rakyat semakin besar.
"Gas dapat diolah menjadi LNG, bisa saja dalam bentuk petrochemical atau pupuk, itu rantainya (pengolahannya) sudah panjang. Apalagi petrochemical, produk turunannya semakin banyak lagi," jelasnya.
Baca Juga: Selama Lebaran, PGN Pastikan Penyaluran dan Layanan Gas Bumi Aman
Arcandra menambahkan, "Semakin banyak turunannya, maka harganya akan semakin tinggi dan kebermanfaatannya juga semakin tinggi. Prinsip itu yang harus kita kembangkan, sehingga lapangan kerja tercipta dan pertumbuhan ekonomi kian merata ke daerah-daerah."
Pembangunan industri manufaktur
Di sisi lain, menurut Arcandra, pembangunan industri manufaktur akan meningkat yang memungkinkan kebutuhan komoditas energi juga meningkat.
Umumnya gas menggunakan pipa ke industri yang membutuhkan atau bisa juga diubah menjadi LNG yang saat ini sudah berfungsi sebagai komoditas dan bisa diperjualbelikan.
"Menurut hemat saya, transisi energi, lebih kepada local wisdom. Eropa mati-matian dengan wind, karena memang anginnya kencang di sana. Di Timur Tengah menggunakan Matahari. Indonesia, (local wisdom) apa yang kita punya untuk renewable energy," paparnya.
Baca Juga: Gas Bumi Miliki Peran Strategis di Masa Transisi Energi Sebelum ke EBT
Dari sisi kebijakan, pemerintah sudah memikirkan dengan matang, termasuk dalam hal pemanfaatan gas di masa transisi. Arcandra menambahkan, kondisi geopolitik yang penuh dengan ketidakpastian juga berpengaruh terhadap harga migas.
"Akan ada siklus naik turun seolah menjadi sebuah kepastian, namun akurasinya kurang begitu sesuai," katanya.
Dengan demikian, menjadi lebih baik untuk lebih mengedepankan langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk memitigasi dampak dari ketidakpastian tersebut.
"Terpenting adalah langkah-langkah apa yang akan kita kerjakan. Salah satu langkah mitigasi Eropa saat ini adalah sewaktu mengandalkan gas pipa dari Rusia, mereka tidak mengantisipasi kalau ada hal-hal tertentu yang mengakibatkan gas tidak mengalir," paparnya.
Baca Juga: Triwulan I 2023, PGN Bukukan Laba Bersih 86 Juta Dolar AS
Setahun belakangan ini, kata Arcandra, bahkan mungkin sampai tahun depan, mereka berlomba-lomba membangun fasilitas infrastruktur agar LNG dari negara pengekspor gas bisa masuk ke Eropa
Akibatnya, dengan 'dimerdekakannya' Eropa dari ketergantungan gas dari satu negara, maka kemungkinan harga gas akan turun. "Berapa turunnya, kapan turunnya, itu yang menjadi misteri," katanya.
Bergantung impor
Di Indonesia, lanjut Arcandra, ketergantungan impor cukup besar. Kebutuhan minyak dalam negeri kira-kira 1,4 juta barel per hari, sedangkan produksi kilang dalam negeri untuk menghasilkan BBM sekitar 800 ribu barel per hari, sehingga impor 600 ribu barel/hari.
Di sisi lain, kondisi kilang dalam negeri dulunya didesain hanya menerima jenis minyak mentah tertentu.
Baca Juga: Wujudkan Kemandirian Energi, PGN Perkuat Komitmen di Dalam Negeri
Menurut dia, memang minyak mentah yang diolah di kilang yang bukan spesifikasinya, dapat menghasilkan produk turunannya BBM dan lain-lain, namun tidak seefisien jika mengolah minyak mentah, yang sesuai dengan spesifikasi kilang.
"Salah satu yang mempengaruhi harga komoditas adalah geopolitik. Tentu, pemerintah tahu persis dan bagaimana seharusnya bertindak," kata Arcandra.
Dari sisi geopolitik dan hubungan bilateral menjadi pertimbangan pemerintah dalam menyikapi perpolitikan dunia, karena dampaknya cukup besar.
"Tentunya, kita bisa mempertimbangkan kebijakan negara lain yang cocok untuk dicontoh, seperti halnya dalam menentukan strategi-strategi transisi dengan diversifikasi usaha ataupun dekarbonisasi menuju renewable energy," tandas Arcandra Tahar.