bakabar.com, JAKARTA - Louis Braille, lahir pada 4 Januari 1809, seorang pendidik asal Prancis sang penemu huruf braille yang digunakan para tunanetra.
Tanggal kelahiran Louis Braille turut diperingati sebagai World Braille Day atau Hari Braile Sedunia, sebagai bentuk penghormatan terhadap sang pencipta alat komunikasi tersebut.
Dari kota kecil di Perancis bernama Coupvray, Louis sang anak keempat lahir dari pasangan Simon-Rene dan Monique Braille.
Sang ayah, berprofesi sebagai pembuat pelana, tali kekang dan peralatan kuda lainnya.
Semasa kecil, Louis sering menghabiskan waktu bermain di bengkel sang ayah.
Hingga suatu hari, saat ia berusia tiga tahun, tanpa sengaja ia melukai mata kanannya dengan alat runcing yang tajam.
Baca Juga: Mengintip Tren Perjalanan Terfavorit Sepanjang 2023 Versi OYO
Matanya yang rusak tidak dapat diobati selama berminggu-minggu, hingga infeksi semakin parah, dan menyebar ke mata lainnya.
Hingga usianya lima tahun, Louis dinyatakan mengalami kebutaan total pada kedua matanya.
Meski demikian, hal itu tak membuatnya tertinggal secara akademik, Louis justru tumbuh menjadi siswa yang rajin dan cerdas.
Pada usianya ke-10 tahun, ia mulai bersekolah di salah satu sekolah tunanetra pertama di dunia: The Royal Institution for Blind Youth di Paris.
Metode Night Writing Menjadi Cikal Bakal Tulisan Braille
Pada 1821, Louis mulai mempelajari night writing, sebuah sistem komunikasi yang dirancang seorang veteran tentara Perancis, Kapten Charles Barbier.
Metode night writing, digunakan untuk berkomunikasi di medan perang dalam keadaan gelap, menggunakan kode titik dan garis yang diletakkan di atas kertas tebal.
Baca Juga: Meraba Dunia Gelap dari Sejarah Huruf Braille
Pesan tersebut dapat dibaca melalui sentuhan jari, dan dijadikan alat komunikasi di medan perang tanpa perlu bicara atau menyalakan lilin saat berkomunikasi.
Hal tersebut membuat Louis terinspirasi oleh Barbier dan mulai menyederhanakan agar lebih mudah digunakan para tunanetra.
Pada 1824, ketika ia berusia 15 tahun, Louis berhasil memangkas 12 titik Barbier menjadi enam, dan menemukan 63 cara untuk menggunakan sel enam titik di area yang tidak lebih besar dari ujung jari.
Tak hanya itu, ia juga memperluas kode tersebut untuk bermusik dan mempelajari matematika.
Baca Juga: Awas, Ini Profesi Rawan Perselingkuhan Selain Pilot dan Pramugari
Pada 1829, ia menerbitkan metode tersebut dan menghasilkan sejumlah publikasi mengenai barille.
Di usia pertengahan 20-an, Louis mulai mengajar sejarah, aljabar dan geometri di Royal Institution for Blind Youth.
Ia juga merupakan seorang yang bergelut di dunia seni, ia dapat memainkan cello dan seorang organis ulung saat itu.
Pada 1834 dan 1839, ia menjadi bagian dari oraganis di Gereja Saint-Nicolas-des-Champs dan kemudian di Gereja Saint-Vincent-de-Paul.
Meski cukup populer pada saat itu, keraguan terhadap metode ini semakin bertambah, para guru sempat menolak karena siswa-siswa harus belajar braille sendiri dan tidak memerlukan sosok guru.
Bahkan di tempatnya belajar dan mengajar, braille tidak diresmikan dalam kurikulum hingga tahun 1854.
Baca Juga: Candi Umbul Magelang, Wisata Sejarah Sekaligus Kesehatan di Lereng Merbabu
Di usia ke-40 tahun, Louis mundur dari pekerjaannya di Institut karena penyakit pernapasan jangka panjangnya yang semakin parah.
Hingga balik kampung ke kota asalnya, Coupvray. Dan menghembuskan napas terakhirnya pada 6 Januari 1852, di rumah sakit Royal Institution.
Dua tahun setelah kematiannya, Royal Institution, justru diperkenalkan pada murid-murid disabilitas. Dan akhir abad ke-19, braille telah meluas ke negara-negara seluruh dunia.
Selama bertahun-tahun, teknologi braille telah berkembang mulai dari mesik tik, hingga pencatat braille elektronik dan penerjemah braille.