Histori

Meraba Dunia Gelap dari Sejarah Huruf Braille

Tanggal 4 Januari diperingati sebagai Hari Braille Sedunia. Momen ini bertepatan dengan hari lahir sang penemunya, Louis Braille.

Featured-Image
Huruf braille yang menjadi metode membaca huruf para tunanetra. Foto: Britannica.

bakabar.com, JAKARTA – Tanggal 4 Januari diperingati sebagai Hari Braille Sedunia. Momen ini bertepatan dengan hari lahir sang penemunya, Louis Braille.

Braille sendiri merupakan sistem tulisan sentuh yang digunakan tunanetra. Sistem itu diciptakan Louis, seorang lelaki asal Prancis, yang juga mengalami kebutaan saat berusia lima tahun.

Terinspirasi dari Tentara

Sepuluh tahun menjalani kehidupan dalam gelap, Louis membuat 'tulisan malam' atas inspirasi dari seorang perwira bernama Kapten Charles Barbier. Mulanya, huruf ini memang digunakan para tentara agar bisa membaca pesan di kala minim cahaya. 

Barbier punya gagasan untuk menciptakan huruf braille dengan sandi yang berbentuk sejumlah titik dan garis. Konsep demikian membuat pesan dibaca dengan meraba rangkaian garis dan titik.

Louis, yang kala itu sudah menghabiskan waktunya di Royal Institute for Blind Youth sejak usia 10 tahun, lantas merumuskan dan menyempurnakan sistem titik timbul.

Louis Braille. Foto: Captioned Media.
Louis Braille. Foto: Captioned Media.

Dia memulai pekerjaannya itu dengan mengembangkan kode berdasarkan sel enam titik. Ini memungkinkan ujung jari merasakan semua unit sel dengan satu sentuhan. Juga, bergerak cepat dari satu sel ke sel berikutnya.

Louis lantas melakukan uji coba kepada tunanetra dengan garis dan titik timbul. Hasilnya, terkuat fakta bahwa mereka lebih peka dalam menggunakan jari-jari tangan ketika menyusuri titik ketimbang garis.

Peristiwa itulah yang kini menyebabkan huruf-huruf Braille hanya menggunakan kombinasi antara titik dan ruang kosong atau spasi.

Sempat Dicekal Massa

Ketika sudah dirasa sempurna, Louis siap mengajari anak-anak tunanetra soal huruf braille. L'Institution Nationale des Jeunes Aveugles pun jadi tempat pertama yang menerapkan sistem huruf titik dan garis itu. 

Meski inovasi tersebut dapat memudahkan tunanetra, siapa sangka, justru penerapan huruf braille sempat dicekal massa. Malah, terjadi kontroversi yang mengakibatkan kepala lembaga tempat Louis mengajar, Dr. Pigner, dipecat.

Asisten Direktur L'Institution Nationale des Jeunes Aveugles turut menentang huruf braille bagi kaum tunanetra. Alasannya, karena saat itu Louis mengajarkan pola titik yang berbeda dengan huruf pada umumnya.

Hal tersebut dianggap sebagai hal 'di luar nalar' yang mustahil. Di tengah gencarnya penentangan yang demikian, dilakukan pula pemberangusan salinan dan buku yang ditulis menggunakan huruf braille.

Kendati begitu, Louis tak patah arang. Dia tetap mengajarkan huruf braille meskipun harus dilakukan secara diam-diam dan tersembunyi.

Kegigihannya pun membuahkan hasil. Huruf braille akhirnya mulai diterima di banyak kalangan.

Hingga pada 1847, huruf braille kembali digunakan. Empat tahun kemudian, huruf braille juga diajukan kepada Pemerintah Prancis untuk mendapat legalitas.

Penghormatan untuk sang Pencipta

Tak bisa dipungkiri betapa besarnya andil huruf braille dalam kelangsungan hidup tunanetra. Untuk menghormati jasa sang pencipta, sederet upaya pun dilakukan. 

Salah satunya, menjadikan rumah Louis yang berada di Coupvray – 40 km sebelah timur Paris – sebagai museum. Ini adalah keputusan The World Council for the Welfare of the Blind pada 1956.

Selain itu, tanggal 4 Januari, yang notabene adalah hari kelahiran Louis, juga diperingati sebagai Hari Braille Sedunia.

Editor


Komentar
Banner
Banner