Saranjana dalam Radar Indrawi dan Antropologi
Dalam kajian antropologi, sambung Nasrullah, tidak memasukkan Kota Saranjana sebagai areal riset. Juga tidak menguji kebenaran foto tersebut, tapi lebih pada masyarakat Banjar yang mempercayai adanya kota itu jauh sebelum kemunculan foto Devi.
“Yang kita cari adalah logika di balik kepercayaan terhadap adanya kota gaib tersebut. Maka dengan adanya penampakan, atau sesekali muncul, Sarjana yang semula forbidden city karena gaib ternyata masuk dalam radar indrawi setidaknya melalui tangkapan visual atau pengalaman personal orang yang pernah masuk kota itu, atau cerita dari mulut ke mulut,” terangnya.
Saranjana barangkali diangggap sebagai kota dengan kemajuan peradabannya, jika dikomparasikan dengan Kotabaru, konon Saranjana adalah kota yang lebih maju. Nasrullah maklum akan hal itu.
“Ini sama dengan imaginasi barat dalam film-film fiksi tentang makhluk lain di luar tata surya atau galaksi bima sakti,” tuturnya.
“Yang saya tunggu dari cerita Saranjana ini sebenarnya tidak hanya kemajuan kotanya yang disertai gedung-gedung tinggi, lampu yang menerangi kota, tetapi juga disertai city guard (penjaga kota) entah itu tentara, polisi, laskar, para ksatria atau sebutan apapun yang sejenis,” sambungnya.
Dialektika Manusia dengan Alam
Lebih lanjut Nasrullah mengungkapkan penekanannya pada nalar manusia tentang Saranjana merupakan cara masyarakat berdialektika terhadap sumber daya alam yang harus dijaga.
Adanya kehidupan melalui kota lain, yang sesekali tervisual atau terdeteksi oleh indra manusia baginya merupakan upaya untuk menjaga areal Saranjana secara geografis untuk tidak dieksploitasi.
Sarajana barangkali satu-satunya cerita dialektika sumberdaya alam yang masih tèrjaga dan terpelihara. Padanannya sebenarnya adalah Pulau Kadap sebagai forbidden forest atau hutan larangan.
Di mana terdapat pohon-pohon besar dengan daun yang bahkan sinar matahari tidak tembus, yang identik dengan tempat mahluk gaib bersemayam. Juga terdapat ikan-ikan dan binatang lain dengan ukuran besar karena tidak terjamah manusia.
Tentu hanya manusia super dengan kelebihan tak biasa yang bisa memasuki pulau di titik tengah tiga kabupaten, Tapin, Marabahan (Barito Kuala) dan Martapura (Banjar) tersebut.
Konon, lokasi Pulau Kadap telah dikonversi menjadi areal perusahaan sawit. Maka hilanglah cerita keangkeran terhadap wilayah tersebut.
“Akhirnya lewat Saranjana, saya berharap akan muncul atau menguat berbagai cerita entah melalui media, mulut ke mulut, testimoni dari pengalaman pribadi, dengan tujuan menjaga akses agar daerah tersebut tetap lestari,” tutupnya.