bakabar.com, KOTABARU - Kemunculan Saranjana terus menjadi perbincangan hangat. Mafhum, kepercayaan adanya Kota Gaib yang konon dipenuhi gedung-gedung pencakar langit serupa Kota Metropolitan Jakarta masih mengakar kuat di tengah masyarakat Banjar.
Antropologi pun menaruh perhatian menyoal cerita-cerita Kota Mistik Sarjana. “Bagi nalar manusia hal itu cenderung irasional. Namun semakin irasional, justru menjadi tantangan untuk mempelajarinya, terlebih jika terjadi intersubjektif, yakni keseragaman subjektif masyarakat terhadap realitas itu,” jelas antropolog Universitas Lambung Mangkurat, Nasrullah kepada bakabar.com.
Perbincangan mengenai Kota Gaib Saranjana menghangat lagi setelah foto menarik seorang dokter wanita di Bukit Mamake, Kotabaru beredar luas di media sosial, sejak pekan lalu.
Bagi Devi, mulanya tak ada yang aneh, sampai akhirnya dokter yang sehari-hari bertugas di RSUD Kotabaru itu menyadari penampakan bangunan-bangunan bertingkat nan-megah yang dikelilingi cahaya gemerlap terang benderang menyerupai Kota Metrpolitan di dalam fotonya.
Padahal, seingatnya, malam itu tak ada bangunan atau cahaya apapun selain pemandangan gelap gulita lautan lepas khas Pulau Laut.
Silang Pendapat Keaslian Foto
Jagat maya media sosial warga khususnya Kotabaru dan Tanah Bumbu pun riuh mengomentari foto Devi.
Sebagian mereka bahkan meragukan keaslian dan menyebut foto tersebut hasil editan. Sebagian lainnya menilai itu hanyalah cahaya bias lampu di malam hari dibarengi dengan hujan gerimis.
Tapi tak sedikit pula yang percaya bahwa foto tersebut asli. Mereka percaya Saranjana sebagai Kota Gaib benar-benar ada, seperti penuturan orang tua-orang tua mereka terdahulu.
Menanggapi silang pendapat yang beredar, Devi dan suami yang sama sekali merasa tak pernah mengedit foto tersebut pun sekali lagi mencoba meyakinkan. “Itu foto asli dan bukan editan,” jelasnya.
Devi berkata sebagai seorang muslim dirinya juga memercayai hal yang tak kasat mata atau gaib. “Alangkah baiknya kita hidup berdampingan, tidak saling menganggu. Semoga tidak ada yang terimbas negatif setelah ada foto viral ini,” harap dokter muda tersebut.
Saranjana dalam Radar Indrawi dan Antropologi
Dalam kajian antropologi, sambung Nasrullah, tidak memasukkan Kota Saranjana sebagai areal riset. Juga tidak menguji kebenaran foto tersebut, tapi lebih pada masyarakat Banjar yang mempercayai adanya kota itu jauh sebelum kemunculan foto Devi.
“Yang kita cari adalah logika di balik kepercayaan terhadap adanya kota gaib tersebut. Maka dengan adanya penampakan, atau sesekali muncul, Sarjana yang semula forbidden city karena gaib ternyata masuk dalam radar indrawi setidaknya melalui tangkapan visual atau pengalaman personal orang yang pernah masuk kota itu, atau cerita dari mulut ke mulut,” terangnya.
Saranjana barangkali diangggap sebagai kota dengan kemajuan peradabannya, jika dikomparasikan dengan Kotabaru, konon Saranjana adalah kota yang lebih maju. Nasrullah maklum akan hal itu.
“Ini sama dengan imaginasi barat dalam film-film fiksi tentang makhluk lain di luar tata surya atau galaksi bima sakti,” tuturnya.
“Yang saya tunggu dari cerita Saranjana ini sebenarnya tidak hanya kemajuan kotanya yang disertai gedung-gedung tinggi, lampu yang menerangi kota, tetapi juga disertai city guard (penjaga kota) entah itu tentara, polisi, laskar, para ksatria atau sebutan apapun yang sejenis,” sambungnya.
Dialektika Manusia dengan Alam
Lebih lanjut Nasrullah mengungkapkan penekanannya pada nalar manusia tentang Saranjana merupakan cara masyarakat berdialektika terhadap sumber daya alam yang harus dijaga.
Adanya kehidupan melalui kota lain, yang sesekali tervisual atau terdeteksi oleh indra manusia baginya merupakan upaya untuk menjaga areal Saranjana secara geografis untuk tidak dieksploitasi.
Sarajana barangkali satu-satunya cerita dialektika sumberdaya alam yang masih tèrjaga dan terpelihara. Padanannya sebenarnya adalah Pulau Kadap sebagai forbidden forest atau hutan larangan.
Di mana terdapat pohon-pohon besar dengan daun yang bahkan sinar matahari tidak tembus, yang identik dengan tempat mahluk gaib bersemayam. Juga terdapat ikan-ikan dan binatang lain dengan ukuran besar karena tidak terjamah manusia.
Tentu hanya manusia super dengan kelebihan tak biasa yang bisa memasuki pulau di titik tengah tiga kabupaten, Tapin, Marabahan (Barito Kuala) dan Martapura (Banjar) tersebut.
Konon, lokasi Pulau Kadap telah dikonversi menjadi areal perusahaan sawit. Maka hilanglah cerita keangkeran terhadap wilayah tersebut.
“Akhirnya lewat Saranjana, saya berharap akan muncul atau menguat berbagai cerita entah melalui media, mulut ke mulut, testimoni dari pengalaman pribadi, dengan tujuan menjaga akses agar daerah tersebut tetap lestari,” tutupnya.