bakabar.com, BANJARBARU – Sah, dokter cabul R (50) di Banjarbaru dijatuhi hukuman 6 tahun penjara dan denda 100 juta dengan subsider 3 bulan kurungan.
Putusan itu dibacakan Ketua Hakim Wiwin Pratiwi S. Pada sidang putusan Kamis (10/2) sore.
Dari pantauan bakabar.com, sepanjang kurang lebih 25 menit sidang pembacaan putusan tidak terdengar dengan baik, karena berbarengan dengan acara di salah satu ruangan di PN Banjarbaru. Dalam acara tersebut terdengar alunan musik yang lumayan keras sehingga mengalahkan suara hakim ketua ketika membacakan putusannya.
bakabar.com mengkonfirmasi hasil putusan ke Juru Bicara Pengadilan Negeri Banjarbaru Raden Satya Adi W. Dia membenarkan ihwal putusan tersebut. Kata dia, itu berdasarkan Surat Perkara nomor 14/Pid.Sus/2022/PN BJB.
Seperti diketahui, sebelumnya jaksa penuntut umum (JPU) menuntut terdakwa dengan 7 tahun penjara.
Lantas, apa yang meringankan hingga pengadilan memutuskan hukuman di bawah dari tuntutan JPU?
Raden menerangkan, penurunan hukuman berdasarkan pertimbangan hakim. Seperti sikap terdakwa yang kooperatif dan sudah menjalani hukuman penjara. Terdakwa juga merupakan tulang punggung keluarga.
“Ditambah sang istri sedang hamil,” jelas Raden.
Dilanjutkannya, putusan inkracht apabila dalam waktu 7 hari tidak ada banding.
“Masa pikir-pikir 7 hari untuk menyampaikan keberatan. Jika tidak ada berarti inkracht,” tuntas Jubir PN Banjarbaru itu.
Sementara itu, kerabat korban yang menghadiri sidang putusan mengaku masih memikirkan kembali hasil putusan sidang. Sebab, perlu pertimbangan keluarga utamanya orang tua korban.
“Ibunya menerima tetapi masih menunggu keputusan ayahnya, jadi masih dipertimbangkan keluarga,” ujar kerabat korban saat ditemui bakabar.com, Kamis (10/2) sore.
Dirinya sendiri mengaku, ingin terdakwa di hukum lebih dari putusan pengadilan hari ini.
“Namanya hukum puas tidak puas ya, kami berharap tadinya lebih dari itu,” ungkapnya.
Sebab, beberapa waktu lalu ada salah satu tindakan dari keluarga terdakwa yang dinilainya tidak tepat.
Di mana, ceritanya istri terdakwa meminta tolong kepada ibu korban untuk membuatkan surat pernyataan memaafkan dan sudah ada perdamaian. Itu untuk meringankan hukuman terdakwa.
“Keluarga terdakwa minta tolong bukan minta maaf. Itu, sesudah sidang tuntutan jaksa kemarin,” kecewanya.
Untuk diketahui, terungkapnya skandal asusila yang dilakukan Dokter R bermula saat korban berusia 10 tahun mengadu ke orang tuanya.
Medio Agustus 2021 keluarga korban melaporkan dokter PNS itu ke Polisi.
Mereka turut membawa sederet bukti yang tak terbantahkan, salah satunya, pengakuan korban maupun pembenaran dari pelaku.
Termasuk pula keterangan saksi mata saat kejadian. 8 Oktober, Dokter R resmi mendekam di Polres Banjarbaru setelah polisi menemukan bukti permulaan yang cukup.
Berkas perkaranya kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Banjarbaru. Dinyatakan lengkap atau P-21, jaksa kemudian melimpahkan berkas perkara kasus Dokter R ke Pengadilan Negeri Banjarbaru.
Kronologi Kejadian
Aksi pertama Dokter R berlangsung di kediamannya di Banjarbaru. Korban yang masih berusia 10 tahun tak lain adalah anak dari keluarganya sendiri.
Ketika itu korban dan anak dari terdakwa sedang
bermain di kamar mandi. Saat korban tengah berendam berdua di dalam bathtub, tiba-tiba datang terdakwa ikut bermain bersama mereka.
Terdakwa ikut berendam dengan posisi duduk di belakang korban. Sementara anak terdakwa berada di depan korban menghadap keduanya.
Saat sedang berendam, tiba-tiba dari arah belakang kedua tangan terdakwa menggerayangi bagian terlarang korban.
Korban yang kebingungan memilih diam. Kendati begitu, terdakwa tetap melakukan aksi amoralnya hingga akhirnya korban meronta.
Beruntung saat itu datang kerabat korban hingga akhirnya terdakwa melepaskan pegangannya dan pergi meninggalkan mereka yang tengah
berendam.
Aksi amoral kedua terjadi saat korban menginap di rumah terdakwa. Korban memang masih bertalian keluarga dengan terdakwa. Sama halnya dengan para saksi.
Saat itu, ada enam orang termasuk terdakwa dan korban di kamar tidur. Tiga saksi tidur bersama terdakwa.
Sementara korban dan anak saksi tidur di kasur bawah karena ranjang di kamar itu hanya muat untuk mereka berempat.
Saat asyik bermain HP, tiba-tiba terdakwa menghampiri korban. Dokter R mengambil posisi berbaring di sebelahnya. Aksi amoral kembali terjadi.
Terdakwa tak menghiraukan penolakan korban dan tetap melancarkan aksinya hingga sekira dua menit lamanya ia kembali ke atas ranjang.
Aksi amoral Dokter R belum berhenti. Untuk ketiga kalinya, saat korban menginap, meski tak sekamar, terdakwa kembali melakukan aksi
amoral.
Terdakwa tiba-tiba mendatangi korban yang tengah tidur bersama kerabat sebayanya. Saat subuh, aksi amoral kepada korban kembali terjadi hingga bocah ini terbangun.
“Di situ korban sempat melihat bahwa yang melakukannya adalah terdakwa," ujar kerabat korban beberapa waktu lalu.
Kejadian terakhir pada siang hari saat korban bermain dengan dua anak terdakwa di rumah nenek mereka. Tiba-tiba datang terdakwa masuk ke dalam kamar dan langsung melancarkan aksi amoral.
Korban lantas menjauh lalu keluar membuka pintu. Saat korban berusaha memegang pegangan pintu, terdakwa kembali menarik badan korban dan kemudian mengarahkannya berdiri menghadap ke tempat tidur yang ada di kamar si nenek.
Saat kejadian, kakek dan nenek korban serta saksi sedang berada di luar kamar.
Aksi dokter R kali ini lebih amoral dibanding sebelumnya. Beruntung tiba-tiba salah satu kerabat membuka pintu dan mengejutkan terdakwa yang secepat kilat menghentikan aksinya.
Tanpa banyak bicara, Dokter R pergi meninggalkan korban serta kerabatnya di kamar.
Si kerabat kemudian bertanya kepada korban apa yang sudah terjadi korban pun menjawab kepada saksi bahwa ia kembali diperlakukan tak senonoh oleh terdakwa sambil pergi meninggalkan kamar si nenek dan keluar.
Hasil visum kepolisian tak menemukan tanda- tanda kekerasan pada bagian vital korban. Meski begitu tetap saja Dokter R diancam pidana Pasal 82 Ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang peraturan pemerintah pengganti UU No 1/2016 tentang perubahan kedua atas UU No 23/2002 tentang perlindungan anak, karena berulang kali melakukan aksi tak senonoh kepada bocah yang masih kerabatnya itu.