Ulama Banjar

Sabilal Muhtadin, Kitab Karya Datu Kalampayan Kebanggaan Banjarmasin

Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, ulama mahsyur tanah Banjar, sosok dibalik kitab fikih Sabilal Muhtadin, rujukan Islam bermazhab Imam Syafi'i di Asia Tenggara.

Featured-Image
Datu Kalampayan menebar ajaran di Kalimantan

bakabar.com, JAKARTA - Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari atau lebih populer dengan sebutan Datu Kalampayan, merupakan ulama mahsyur tanah Banjar, sosok dibalik kitab fikih Sabilal Muhtadin.

Al-Alimul Al-Allamah Al-Arif Billah Asy-Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, atau lebih populer dengan sebutan Datu Kalampayan, adalah salah seorang Alawiyyin, memiliki silsilah langsung dari Rasulullah yang lahir di tanah Banjar pada 17 Maret 1710.

Syekh Arsyad memulai pendidikannya ke Mekkah saat usia 30an, saat Sultan Banjar mengabulkan permintaan tersebut. Hingga akhirnya berhasil mengenyam pendidikan di Makkah selama 30 tahun, dan di Madinah selama 5 tahun.

Tak sampai situ saja, atas izin dari Alimul Allamah Syekh Athaillah, sang guru dari Datu Kalampayan, ia berhasil mengajar dan memberi fatwa nya di Masjidil Haram.

Datu Kalampayan dan Kitab Sabilal Muhtadin

Kitab Sabilal Muhtadin Karya Datu Kalampayan. Foto: kolase
Kitab Sabilal Muhtadin Karya Datu Kalampayan. Foto: kolase

Semasa hidupnya Datu Kalampayan memberikan banyak ilmu mengenai agama Islam di Tanah Banjar dan Nusantara, salah satunya melalui kitab Sabilal Muhtadin, sebuah kitab hukum fikih yang menjadi banyak rujukan Islam bermazhab Imam Syafi'i di Indonesia hingga Asia Tenggara.

Tak tanggung, karyanya menjadi rujukan di beberapa negara Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Brunai Darussalam, Kamboja, Vietnam dan Laos. Bahkan menyebar sampai Universitas Al Azhar di Mesir, Masjidil Haram, dan Makkah.

Baca Juga: Masjid Agung Daarulsalam Temanggung, Saksi Sejarah Sejak 1835

Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin Lit-Tafaqquh Fi Amriddin, memiliki arti 'Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama'.

Kitab Sabilal Muhtadin ditulis oleh Dau Kalampayan pada tahun 1779, pada zaman pemerintahan Sultan Tamjidullah.

Dengan goresan aksara Arab Melayu dan sedikit bahasa Banjar, kitab ini menerangkan ilmu fikih dalam ibadah dan kehidupan.

Di mana kitab ini terbagi dalam dua jilid. Pertama, diawali dengan mukadiman, membahas mengenai bersuci dan diakhiri mengenai hal-hal makhruh dalam shalat.

Baca Juga: Datu Kalampayan, Sosok Teladan Ulama Standar Internasional

Jilid keduanya membahas sujud sahwi dan diakhiri dengan al at'imah, yang membahas halal dan haram makanan.

Kitab ini memiliki 524 halaman, dengan jilid pertama berjumlah 252 halaman dan 272 halaman untuk jilid keduanya.

Datu Kalampayan
Ilustrasi sosok Datu Kalampayan. Foto: Dok. Suara Bamega.

Pada 1781, Datu Kalampayan berhasil menyelesaikan kitab ini dalam kurun waktu dua tahun.

Dalam kitab Sabilal Muhtadin, Syekh Arsyad mengambil banyak rujukan dari kitab ulama sebelumnya, seperti kitab Syarah Minhaj karya Syekh Zakaria al-Ansari, Nihayah karya Syekh Jamal ar-Ramli, Tuhfah karya Syekh Ibnu Hajar al- Haitami, dan Mugni al-Muhtaj karya Khatib asy-Syirbini.

Baca Juga: Dari Celah Jubah, Datu Kalampayan Betulkan Arah Kiblat di Batavia

Kitab Sabilal Muhtadin ditulis oleh Datu Kalampayan yang mulai terkenal pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Bahkan saat ini kitab tersebut masih menjadi panduan beberapa umat Islam dalam mempelajari agama.

Selain kitab Sabilal Muhtadin, Datu Kalampayan juga menulis kitab lain seperti Kitab Ushuluddin yang lebih terkenal dengan Kitab Sipat Duapuluh.

Kitab Tuhfatur Raghibin, membahas itikad serta perbuatan yang sesat. Kitab Nuqtatul Ajlan, membahas fikih perempuan. Dan Kitabul Faraidl, hukum pembagian warisan.

Baca Juga: Pemprov Kalsel Gelontorkan Miliaran Rupiah Bikin Film Datu Kalampayan

Tak hanya berpengaruh di tanah kelahirannya, Kalimantan Selatan, Syekh Arsyad diketahui membenarkan arah kiblat di beberapa masjid di Jakarta, seperti Masjid Pakojan, dan Masjid Luar Batang.

Syekh Arsyad juga memberikan pengaruh di bidang pendidikan di Kalimantan Selatan.

Hal itu dilakukannya saat kembali ke tanah kelahirannya selepas dari Makkah, ia mendirikan tempat pengajian, semacam pesantren, bernama Dalam Pagar, yang menjadi tempat banyak umat menuntut ilmu agama Islam di sana.

Sang ulama wafat pada 13 Oktober 1812, di Dalam Pagar, Martapura Timur, Banjar, Kalimantan Selatan.

Sampai akhir hayatnya, Tuan Haji Besar masih mendapat banyak penghargaan dari Kesultanan Banjar atas ilmu dan pengaruhnya di wilayah tersebut.

Editor
Komentar
Banner
Banner