bakabar.com, JAKARTA - Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menilai jika kebiasaan Indonesia dalam mengimpor KRL bekas asing hanya akan menguntungkan di awal saja. Untuk itu, kecanduan negara dalam mengimpor barang bekas harus segara diakhiri.
Menurutnya, memproduksi sendiri sarana perkeretaapian memang mahal di awal, namun menjadi lebih murah pada bagian perawatan yang akhirnya menjadikan bangsa ini lebih mandiri. Hal lainnya, Indonesia semakin baik dalam melakukan produksi massal.
"Sekarang masa transisi, mulailah berbenah. Impor barang bekas itu murah, akan tetapi juga harus diakhiri. Murah di awal, namun biaya perawatan mahal," kata Djoko saat dihubungi bakabar.com, di Jakarta Rabu (12/4).
Salah satu solusinya, pengguna KRL Commuter Line perlu untuk diedukasi, termasuk membuka peluang terhadap kenaikan tarif yang diiringi dengan peningkatan pelayanan. "Pemerintah juga perlu memperhatikan tambahan subsidi agar operator perkeretapian bisa mengoperasikan dan melayani dengan optimal," lanjutnya.
Baca Juga: Impor KRL Bekas Jepang, Luhut: Hasil Tinjauan BPKP jadi Acuan
Tingkatkan TKDN
Sebagaimana diketahui, Presiden RI Joko Widodo meminta agar kementerian dan lembaga, termasuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara) untuk memperbesar persentase TKDN (Tingkat Komponen dalam Negeri) dari produk yang dihasilkan.
Ia mengingatkan agar jangan sampai proyek-proyek pemerintah, proyeknya BUMN masih memakai barang-barang impor. "Kalau itu bisa dikunci, itu akan menaikkan sebuah permintaan produk dalam negeri yang tidak kecil," ujarnya.
Lebih lanjut, Djoko menjelaskan bahwa penggunaan sarana KRL bekas sudah dimulai sejak 23 tahun yang lalu. Selama itu pula, PT KAI/PT KCJ/PT KCI belum pernah membeli atau berinvestasi sarana KRL untuk satu rangkaian trainset yang didasarkan atas produksi dalam negeri.
Selama masa itu, sempat ada sarana KRL baru buatan PT Inka melalui pinjaman loan dari KFW (Jerman) yang dibeli oleh negara melalui Kementerian Perhubungan. Produk Inka itu dioperasikan PT KCI untuk KRL di lintas Yogyakarta-Solo.
Baca Juga: Rencana Impor KRL Bekas Jepang Ditolak, Begini Respon BUMN
"Dengan melihat situasi dan kondisi PT Inka, ada baiknya dibuat seperti program sandwich," ungkap Djoko.
Jika kebutuhan PT KCI adalah 10 rangkaian trainset per tahun, maka diadakan sarana KRL bekas sebanyak 8 rangkaian, kemudan PT Inka diberikan porsi untuk menyediakan dua rangkaian baru.
Dengan begitu, pembelian kereta bekas impor bisa dikurangi. Selanjutnya PT Inka bisa didorong untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Misalnya melengkapi 10 rangkaian dalam setahunnya. Hal itu dimungkinkan karena masa produksi memerlukan waktu yang cukup.
Keuntungannya, setiap tahun PT Inka akan memperoleh order pengadaan sarana KRL baru, disamping kebutuhan operasional KRL oleh PT KCI terpenuhi. Dengan memproduksi gerbong KRL secara rutin per tahunnya, kualitas produk PT Inka diharapkan akan semakin baik.
Baca Juga: Polemik Impor KRL Bekas, Pemerintah: PT KCI Optimalkan Sarana yang Ada
Tidak boleh impor
Sementara itu, berkaca dari kondisi sekarang yang tidak diizinkan melakukan impor, pilihannya cukup sulit. Pilihan pertama yakni dilakukan pembiarkan. Setiap sarana kereta yang usang tidak dioperasikan. Dipastikan hal itu akan berdampak pada banyaknya penumpang KRL yang terlantar.
Pilihan kedua, KRL tetap dioperasikan tanpa bisa menjamin keselamatan penumpang padahal kondisi gerbong harus segera diganti. Dalam sektor transportasi, keselamatan merupakan hal yang utama yang perlu diperhatikan dan tidak bisa ditawar-tawar.
"Kondisi seperti sekarang ini sebenarnya bukan menambah jumlah sarana KRL, akan tetapi mengganti sarana KRL yang sudah tidak bisa beroperasi lagi," imbuhnya.
Penggunaan produk dalam negeri dengan aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) bisa membuat bangsa ini menjadi lebih mandiri dalam hal teknologi perkeretaapian.
Baca Juga: KRL Bekas Jepang, Temuan BPKP: Biaya Impor Tidak Akurat
"Namun harus tahu situasi dan kondisi pabrikan di dalam negeri. Impor, jangan kebablasan, kurang menghargai produk dalam negeri dan kemampuan bangsa sendiri," katanya.
Evaluasi Tarif
Djoko menambahkan, pemerintah juga harus paham konsekuensi dari pembelian baru dan bekas terhadap dampak finansial di PT KCI. Struktur Public Service Obligation (PSO) dan tarif KRL Commuter Line harus dievaluasi.
"Jangan sampai tarif tidak pernah naik, padahal Biaya Operasional (BIOP) kereta api setiap tahun bertambah," ujarnya.
Ini perlu dipikirkan, karena tidak mungkin biaya operasional dibebankan pada PT KCI dan pemerintah untuk selamanya. "Jika harus ditanggung oleh pemerintah, semestinya sudah tidak sebesar sekarang ini," kata Djoko.
Baca Juga: Pemerintah Tidak Rekomendasikan Impor KRL Bekas dengan 4 Pertimbangan
Sebelumnya, PT Kereta Api Indonesia (KAI) Commuter atau Kereta Commuter Indonesia (KCI) merencanakan pengadaan kereta bukan baru atau kereta bekas untuk mengganti kereta yang dikonservasi atau dipensiunkan pada 2023.
Rencana mengimpor kereta bekas dari Jepang itu sudah disetujui Kementerian Perhubungan, namun belum mendapat persetujuan Kementerian Perindustrian. Kementerian Perindustrian menghendaki tidak dilakukan impor kereta bekas, namun memproduksi sendiri dengan melibatkan PT Inka.