Bisnis

Revisi Perpres No 191/ 2014, Indef: Aturan Soal BBM Sangat Dinanti

Indef mengungkapkan bahwa saat ini rakyat masih menunggu perkembangan revisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 191 Tahun 2014.

Featured-Image
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menyampaikan kondisi perekonomian negara kawasan Asia Pasific. Foto: Apahabar.com

bakabar.com, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini sedang melakukan percepatan penyelesaian penyelesaian Revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 Tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM).

Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menilai revisi tersebut sangat dinantikan oleh masyarakat karena pengendalian konsumsi dan subsidi menjadi lebih tepat sasaran dan untuk menjaga ketersediaan BBM dalam negeri.

“Revisi ini cukup dinanti untuk melihat apakah memang Perpres akan cukup efektif. Karena sasaran dari perpres ini bukan hanya kelompok bawah pengguna roda dua tapi juga roda empat,” ujar Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad dalam Diskusi Publik INDEF "Masa Depan Subsidi BBM: Urgensi Penguatan Regulasi dan Pemanfaatan Teknologi" pada Senin (27/3).

Ketika peraturan tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran BBM ditetapkan secara matang, revisi dianggap tepat. Pasalnya, saat ini ekonomi global tengah mengalami gejolak yang cukup besar.

Baca Juga: Program BBM Satu Harga, BPH Migas Siap Bantu Pemerintah

"Dari sektor energi, perang fisik antara Ukraina dengan Rusia berdampak kepada ekonomi seluruh negara termasuk indonesia," katanya.

Di sisi lain, isu terkait penurunan ekonomi global semakin kencang digaungkan oleh negara-negara maju. Implikasinya, berdampak pada kapasistas ketersediaan BBM dalam negeri.

“Ada penurunan dari upaya pemerintah untuk menyediakan kapasitas BBM yang memadai kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan,” kata Tauhid.

Di dalam negeri, terkait dengan ketersediaan BBM, pemerintah telah menetapkan peraturan pembatasan konsumsi BBM. Pembatasan tersebut berlaku untuk pembelian pertalite dan solar.

Baca Juga: Di Hadapan DPR, Dirut Pertamina: Kebakaran Plumpang Bukan dari Tangki BBM

Hanya saja, Tauhid menilai upaya itu tidak cukup. Pemerintah masih membutuhkan kerja keras dalam pelaksanaan pembatasan konsumsi BBM. Untuk itu, pemerintah perlu mempercepat revisi Perpres No. 191 Tahun 2014 sebagai upaya penyelamatan ketersediaan BBM dalam negeri.

“Karena persoalannya adalah apakah situasi Indonesia saat ini, dapat bertahan sampai akhir tahun atau tidak,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas, Maompang Harahap dalam paparannya menjelaskan fokus dari revisi Perpres No. 191 Tahun 2014 adalah pengaturan pengendalian sekaligus penguatan pengawasan.

“Dari berbagai diskusi memang ada khusus JBKP (Jenis BBM Khusus Penugasan) ada beberapa skenario. Kalo untuk JBT (Jenis BBM Tertentu) memang sudah diatur di Perpres sebelumnya (191/2014),” kata Maompang.

Baca Juga: Pertamina Siap Pindahkan TBBM Plumpang ke Lahan Pelindo

Ia juga  menyebutkan dari beberapa skenario yang telah ESDM siapkan, ternyata ada satu skenario yang memiliki dampak inflasi yaitu sebesar 0,26% dan yang paling rendah sebesar 0,03%.

“Kalau bisa mengendalikan volume JBKP 3% dari kuota 32,56 Juta KL atau menghemat 0,9 juta KL maka kompensasi yang dihemat mencapai Rp18,63 triliun,” ungkap Maomoang.

Sejauh ini, Kementerian ESDM mengungkapkan empat alasan urgensi percepatan penerbitan Revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 ini.  Alasan pertama, diperlukan pengaturan JBT atau BBM bersubsidi dan JBKP agar tepat sasaran.

Alasan kedua, kuota yang ditetapkan mengacu pada APBN 2023 yaitu JBT solar ditetapkan sebesar 17 juta kiloliter (KL) dan minyak tanah sebesar 500 ribu KL, di bawah proyeksi konsumsi JBT tahun 2023.

Baca Juga: Pertamina Balongan Indramayu Jamin Pasokan BBM ke Plumpang Lancar

Alasan ketiga, mengacu pada tren realisasi konsumsi JBKP pada 2020 sampai 2022. Adapun kuota JBKP tahun 2023 sebesar 32,56 juta KL yang artinya tumbuh sebesar 10,38%.

Alasan keempat, diperlukan pengaturan konsumen pengguna melalui revisi Perpres 191/2014 agar dapat dilakukan pengendalian konsumsi dan subsidi menjadi lebih tepat sasaran.

Editor
Komentar
Banner
Banner