bakabar.com, JAKARTA - Pulau Rempang ternyata menyimpan sejarah panjang. Pernah dikunjungi Belanda, dan didiami tentara Jepang di masa Perang Dunia II.
Kasus kekerasan yang terjadi di Pulau Rempang membetot perhatian publik. Cerita rebutan penguasaan tanah yang dilakukan penguasa jadi latar belakangnya. Demonstrasi warga berujung tindakan represif aparat.
Semua bermula dari informasi relokasi seluruh penduduk di pulau tersebut. Tujuan relokasi adalah untuk mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang yang rencananya akan dibangun menjadi kawasan industri, jasa, dan pariwisata bernama Rempang Eco City.
Relokasi ini mendapat penolakan dari 7.500 warga yang menghuni Pulau Rempang. Sebab Rempang adalah rumah mereka berabad lamanya. Penduduk Rempang mengatakan mereka telah tinggal di pulau tersebut sejak tahun 1834.
Turun temurun mereka menetap dan membangun pulau tersebut. Lalu atas nama pembangunan dan investasi mereka semua akan direlokasi. Jika mereka pindah, maka akar budaya mereka akan hilang.
Baca Juga: Mahfud Akui Status Tanah Rempang Banyak Keliru
Pulau Rempang dan Otorita Batam
Pulau Rempang adalah sebuah pulau kecil dengan luas 16.583 hektare dan terletak di sebelah tenggara Pulau Batam. Pulau ini menjadi bagian dari zona berikat Kawasan Industri Batam.
Pulau ini diniatkan untuk punya andil besar untuk mewujudkan cita-cita Indonesia yang ingin menjadikan Batam sebagai wilayah yang berdaya saing dengan Singapura.
Pulau ini hanya memiliki dua kelurahan, yakni Rempang Cate dan Sembulang. Kedua kelurahan ini masuk dalam wilayah Kecamatan Galang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Awalnya Pulau Rempang adalah bagian dari Pemerintah Daerah. Pulau ini tidak masuk dalam Otorita Batam.
Tapi pada tahun 1992, melalui Kepres Nomor 28 Tanggal 19 Juni 1992, pemerintah melakukan perluasan wilayah kawasan industri Pulau Batam. Pulau Rempang dan Pulau Galang lalu menjadi bagian dari wilayah Pulau Batam.
Kawasan tersebut kemudian dikenal dengan Balerang, yakni Batam, Rempang, dan Galang. Pemerintah lalu membangun enam jembatan untuk menghubungkan Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Setokok, Pulau Rempang, dan Pulau Galang.
Total ada enam jembatan yang saling menghubungkan antar pulau. Panjang enam jembatan tersebut dikabarkan mencapai 1.568 meter.
Ada Jejak Jepang dan Belanda di Rempang
Melansir Keprionline.co.id, di Pulau Rempang terdapat 16 kampung permukiman warga asli, yang terdiri dari suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat. Mereka diyakini sudah tinggal di Pulau Rempang sejak 1834.
Di sumber lain disebutkan, ada juga kelompok Tionghoa, dan kelompok masyarakat adat Pulau Rempang-Galang yang dikenal sebagai Orang Darat atau Orang Oetan (Orang Hutan).
Menurut legenda, Orang Oetan berasal dari Lingga dan mereka dikatakan mirip dengan suku asli Johor dan Melaka, yakni Orang Jakun. Masyarakat adat Orang Oetan hidup terpisah dari masyarakat umum. Mereka tinggal di dalam hutan-hutan Pulau Rempang yang belum banyak terjamah.
Sayangnya, populasi Orang Oetan terus menyusut. Pada tahun 2008, dikabarkan jumlah mereka hanya tersisa 30 jiwa.
Baca Juga: Warga Pulau Rempang: Aparat Tidak Ukur Tanah Sesuai SOP
Sedangkan keberadaan Orang Darat di Pulau Rempang ini disebutkan dalam sejumlah arsip kolonial Belanda. Ada sejarah yang menyampaikan, Pulau Rempang adalah bagian dari penaklukkan Belanda terhadap Kerajaan Melayu Riau pada 1784.
Salah satunya adalah catatan kunjungan Controleur Onderafdeeling Tanjungpinang, P Wink yang mengunjungi Orang Darat di Pulau Rempang pada 4 Februari 1930.
Cerita itu tertuang dalam artikel bertajuk Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930 atau Laporan Sebuah Kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang pada 4 Februari 1930.
Popularitas Pulau Rempang di mata mancanegara juga sudah lama dikenal. Selain kunjungan Belanda, sejak masa Perang Dunia ke-2, pulau ini pernah didiami lebih dari 27.000 tentara Jepang.
Tahun 1981, untuk mengabadikan pulau tersebut sebagai pulau yang juga jadi sejarah bagi orang Jepang, dibangun Tugu Minamisebo, yang sekarang dikenal sebagai Tugu Jepang.