Smelter Freeport

Relaksasi Ekspor PT Freeport, ESDM: Tidak Ada Keistimewaan

Pemerintah sudah melakukan proses optimal, baik di internal maupun bersama Komisi VII DPR, untuk memutuskan relaksasi erhadap PT Freeport Indonesia.

Featured-Image
Staf Khusus (stafsus) Menteri ESDM Irwandy Arif (Foto: Screenshot apahabar.com)

bakabar.com, JAKARTA - Pemerintah sudah melakukan proses secara optimal, baik melalui kerja-kerja di internal kementerian maupun bersama Komisi VII DPR, untuk memutuskan relaksasi ekspor terhadap PT Freeport Indonesia.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif menjelaskan tidak ada keistimewaan yang diberikan oleh pemerintah untuk dua komoditas unggulan, yakni nikel dan bauksit.

"Upaya-upaya yang dilakukan tidak hanya melihat bahwa komoditas ini (nikel dan bauksit) diistimewakan. Pemerintah telah memiliki beberapa kriteria," ungkapnya dalam diskusi Untung Rugi Larangan Ekspor Mineral Mentah yang digelar virtual pada Senin (12/6).

Sebagai contoh, kata Irwandi, pemerintah melihat ada suatu kendala terkait dengan pembangunan smelter ketika COVID-19 merebak. Saat itu semua komoditas mineral terkena imbasnya, baik itu tembaga, bauksit, nikel dan mineral lainnya.

Baca Juga: Temuan ESDM, Hilirasasi Nikel Paling Progresif Dibanding Mineral Lainnya

Tidak berhenti hanya disitu, pemerintah juga melakukan evaluasi terhadap Kurva-S yang direncanakan dalam pembangunan smelter oleh masing-masing perusahaan. "Dari semua industri, kurva S itu kemudian diteliti satu persatu dari waktu ke waktu. Sudah cukup detil, termasuk anggaran yang keluar pertahap," jelasnya.

Kementerian ESDM kemudian melalukan penilaian terkait kemajuan smelter. Untuk itu dilibatkan tim verifikator independen. "Dan itu kadang-kadang masih ada miss juga," ucapnya.

Setelah hasil tim verifikator dievaluasi, Kementerian ESDM menganggap ada yang kurang. Karena itu diusulkan untuk melakukan tinjauan langsung ke lapangan.

"Supaya apa yang dikatakan maju 30 persen, maju 50 persen, maju 70 persen dan sebagainya, itu benar atau tidak. Ini tim dikirim bahkan turun tangan sendiri pak menterinya," papar Irwandi.

Baca Juga: Lokasi Eksplorasi Sedimentasi Laut, ESDM: Dibahas Lintas Kementerian

Semua itu diintegrasikan ke dalam satu penilaian evaluasi yang dianggap lengkap, sebelum dijadikan dasar pengambilan keputusan. Keputusan ini kemudian dikoordinasikan dengan presiden di dalam rapat rutin atau rapat terbatas. Termasuk dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR.

"Semua dilihat dari sisi peraturan yang berlaku, dilihat dari kemajuan, dinilai semua. Kemudian diambil keputusan," jelasnya.

Dari situ, kata Irwandy, keluar keputusan, dan yang diberi kelonggaran hanya 5 komoditas dengan empat perusahaan. Masing-masing komoditas mendapatkan relaksasi ekpor.

"Pertama adalah tembaga, dari 2 perusahaan, yakni PT. Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara, karena kemajuan smelter mereka sudah lebih dari 50%," terangnya.

Baca Juga: Ada Lagi yang Mati, Bukti Buruknya Pengelolaan K3 di Smelter Bantaeng

Kemudian untuk besi, dari PT Sebuku Iron Lateric Ores, kemajuannya sudah mendekati 90%. Selanjutnya komoditas timbal dari PT Kapuas Prima Coal dengan dengan pembangunan smelter mencapai 100% dan masih PT Kapuas Prima Coal untuk komoditas seng dengan pembangunan smelter mencapai 90%.

"Ini semua datanya hingga Februari 2023," kata Irwandi.

Dengan demikian tidak ada perbedaan khusus yang diberikan oleh pemerintah Indonesia terhadap PT Freeport.

Lagi-lagi, tegas Irwandi, karena smelter bauksit milik PT Freeport masih memiliki progres yang rendah. "Kemajuannya masih sangat rendah, ditambah peninjauan lapangan dari 8 itu, 7 masih berupa tanah lapang," jelasnya.

Baca Juga: Menteri ESDM Desak Freeport Kebut Pembangunan Smelter, Target Realisasi 4 Persen Per Bulan

Penegakan aturan

Selama ini, Irwandi tidak menampik adanya pandangan yang berbeda antara pemerintah dan perusahaan yang mendirikan smelter terkait larangan ekspor mineral mentah.

"Dua belah pihak punya pandangan berbeda, tapi pemerintah punya pegangan bersama, yaitu perundang-undangan yang berlaku di Indonesia," ujarnya.

Contohnya, larangan ekspor bauksit yang per tanggal 10 Juni diberlakukan, menurut Irwandi sudah diperingatkan pada saat UU no.3 tahun 2020 resmi berlaku.

"Bahwa industri masih bisa melakukan ekspor, 3 tahun setelah UU ini diberlakukan. Diberi waktu dengan mendirikan smelter," paparnya.

Baca Juga: Konstruksi Smelter PTPFI di Gresik, Menteri ESDM Minta Dipercepat

Hanya saja, dari 12 smelter yang direncanakan, ternyata hanya 4 yang dioperasikan oleh 3 perusahaan, dimana terdapat 1 perusahaan yang memiliki 2 line. "Sisanya yang 8 masih sangat rendah kemajuan industrinya, khususnya pembangunan smelternya," ujar Irwandi.

Dilaporkan secara umum baru berkisar antara 30 - 60 persen. Kemudian tim Kementerian ESDM mengirimkan tim ke lapangan untuk melihat perkembangannya.

"Ternyata dari 8 itu, yaitu 12 dikurangi 4 tinggal 8. Ternyata dari 8 itu ada 7 yang masih lapangan. Barangkali mereka ngitungnya dari segi pengeluaran biaya," jelasnya.

Sementara bagi pemerintah, kondisi itu harus dilihat secara komprehensif. Tidak hanya dari segi biaya, tetapi juga dari pembangunan konstruksi smelter. "Jadi mereka diimbau supaya bersungguh-sungguh. Ini memang sudah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu," kata Irwandi.

Baca Juga: Meneropong Nasib Smelter RI Menuju Larangan Ekspor Bauksit Juni 2023

Oleh karena itu, pengambilan keputusan pemerintah tidak seketika, namun sudah memberikan waktu dan kesempatan. Dan salah satu penilaiannya adalah progres kemajuan smelter.

"Sebagai contoh kebutuhan biji bauksit dari perusahaan yang melakukan pertambangan bauksit kurang lebih 30 juta. Yang diserap oleh 4 smelter itu dalam tahap yang sekarang itu baru 14 juta. Tapi dengan adanya dorongan untuk mempecepat tahapan penyerapan dan kemajuan produksi mereka, itu makin lama makin besar," jelas Irwandi.

Dengan situasi sekarang dimana perusahaan tidak diperbolehkan ekspor mineral mentah, diharapkan mereka mampu mengejar pembangunan smelternya agar lebih cepat berproduksi.

"Misalnya untuk bisa ikut lagi menambang dan memproduksi alumina, sebelum memproduksi aluminium. Dimana kebutuhannya saat ini baru 250 ribu ton, padahal kebutuhan untuk aluminium itu sudah 1 juta ton," terangnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner