Kriminalisasi Masyarakat Adat

Putusan Janggal Sidang Kasus Masyarakat Adat Halmahera Timur

Ada kejanggalan yang harus dibongkar pada proses hukum Alen Baikole dan Samuel Gabe.

Featured-Image
KontraS Tuding Proses Hukum Alen Baikole dan Samuel Gabe Janggal. Foto KontraS for apahabar.com

bakabar.com, JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut ada kejanggalan yang harus dibongkar pada proses hukum Alen Baikole dan Samuel Gabe. Keduanya menerima vonis 20 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Jumat (15/9).

Alen dan Samuel didakwa melakukan pembunuhan berencana kepada Talib Muid. Keduanya divonis 20 tahun, atau lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yakni 18 tahun.

KontraS menyampaikan deretan kejanggalan proses hukum Alen dan Samuel dalam laporan bertajuk “Laporan Investigasi Tindak Kriminalisasi dan Kekerasan Terhadap Masyarakat Adat O’Hongana Manyawa di Halmahera Timur”.

“Berdasarkan hasil temuan kami, terdapat berbagai kejanggalan selama proses penyelidikan hingga putusan terhadap Alen Baikole dan Samuel Gabe,” kata Wakil koordinator bidang eksternal Andi Muhammad Rezaldy, Kamis (9/11).

Baca Juga: Lima Tahun PT IWIP di Halmahera, Kerusakan Lingkungan Kian Parah

Laporan investigasi KontraS juga menyebut Alen Baikole tidak ada di lokasi ketika terjadi pembunuhan Talib Muid. Salah satu saksi atau A De Charge, Feni Huhutu mengatakan pada tanggal 29 Oktober 2023 pukul 10.00 WIB, Feni bertemu Alen Baikole di rumahnya dan sedang dalam kondisi berdiri sendiri.

Setelah bertemu dengan Alen, Feni ke kebun hingga pukul 13.00 WIT dan kembali bertemu dengan Alen yang saat itu sedang duduk sendiri di rumahnya yang berada di Dusun Rai Tukur-Tukur, Desa Dodaga, Halmahera Timur.

Baca Juga: Walhi Sebut Masyarakat Adat Seruyan Paling Banyak Dirugikan

Sementara fakta hukum pada putusan pengadilan, Alen disebut berada di Desa Getowasi yang berjarak 115 kilometer dari rumah Alen atau sekira tiga jam menggunakan mobil.

Kendati demikian, keterangan Feni tidak digubris hakim dengan alasan tidak ada bukti penguat pernyataan Feni terkait keberadaan Alen.

Fakta lain yang ditemukan oleh tim investigasi yang membuktikan Alen tidak terlibat adalah acara keagamaan rutin di Gereja Evata dekat rumah Alen yang dilaksanakan pada 29 Oktober 2022.

“Hal tersebut disampaikan oleh Paulus Ipo, seorang pemimpin jemaat gereja sebagai salah satu saksi A De Charge pada persidangan ini. Ia mengatakan bahwa bertemu Alen di Gereja untuk beribadah pada tanggal 29 Oktober 2022 pukul 19.00 WIT,” kata Andi.

Dugaan penganiayaan

KontraS dalam laporannya juga menemukan fakta terkait dugaan penganiayaan Alen dan Samuel pada saat proses penyidikan. Samuel diduga disiksa pada saat diperiksa di Polres Halmahera Timur pada 21 Maret 2021.

“Samuel mengalami tindak penyiksaan saat dimintai keterangan oleh penyidik terkait peristiwa pembunuhan kepada Talib Muid di Gotowasi. Hal tersebut ia terangkan saat dirinya diperiksa sebagai saksi pada saat persidangan di Pengadilan Negeri Soasio,” kata Andi.

Baca Juga: Dukung Masyarakat Adat, Sunggono Sebut Perlu Perda

Dugaan penganiayaan juga terjadi pada Alen Baikole usai ditangkap di tempat kerjanya PT Colombus. Alen dibawa oeh beberapa anggota intel di Polres Halmahera Timur menggunakan mobil. Selama berada di dalam kendaraan, Alen dipaksa mengaku sebagai pembunuh dalam peristiwa di Getowasi.

Tak tahan disiksa, Alen disebut terpaksa mengakui hal yang tidak ia lakukan. Alen mendapat luka memar wajah dan dan luka di dada dan seluruh badan lantaran ditendang. Dugaan penyiksaan ini juga Alen sampaikan di persidangan.

Putusan yang janggal

Selain menemui dugaan penganiayaan, KontraS juga menemukan kejanggalan pada Putusan Nomor 28/Pid.B/2023/PN Sos atas nama Samuel Gebe dan Putusan Nomor 27/Pid.B/2023/PN Sos atas nama Alen Baikole.

“Salah satu pertimbangan dalam putusan tersebut yaitu adanya bukti tidak langsung di mana para Saksi tidak melihat langsung, namun disaksikan oleh Allah SWT dan Malaikat Rokib dan Atib,” kata Andi.

Andi menilai, pertimbangan itu janggal lantaran bertentangan dengan pencarian fakta hukum yang rasional. Menurutnya, dalam hukum pembuktian, khususnya dalam sistem peradilan pidana, dikenal prinsip beyond reasonable doubt yaitu tidak boleh ada keragu-raguan dalam memutus suatu perkara.

“Apabila hakim mengalami keraguan karena minimnya bukti yang diperoleh, maka berlaku asas in dubio pro reo, yakni hakim harus mengambil keputusan yang menguntungkan terdakwa,” jelasnya.

Baca Juga: UU Mandek, Masyarakat Adat Gugat DPR dan Presiden ke PTUN

Kejanggalan kedua adalah penemuan barang bukti berupa anak panah sepanjang 12 cm yang tidak pernah digunakan oleh masyarakat adat O'Hongana Manyawa, namun diklaim bahwa barang bukti tersebut digunakan Alen dan Samuel untuk melakukan pembunuhan berencana kepada Talib Muid.

Berdasarkan investigasi KontraS, anak panah tersebut merupakan alat yang biasa digunakan oleh masyarakat adat O’Berera Manyawa (Masyarakat Adat Pesisir), bukan O’Hongana Manyawa.

“Anak panah yang biasa digunakan oleh Masyarakat Adat O'Hongana Manyawa rata-rata memiliki panjang sekitar 20-25 cm, yang biasa digunakan untuk berburu babi atau rusa,” jelasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner