Oleh: Aulia Hikma Fadilla De Musfa
Sejak Omnibus Law diwacanakan sebagai peraturan induk untuk mengatur beberapa klaster undang-undang (UU), banyak pihak menyuarakan penolakan. Peraturan tersebut dikhawatirkan tidak tepat sasaran khususnya klaster ketenagakerjaan yang tertuang dalam RUU Cipta Kerja. Berbagai lapisan dan tokoh masyarakat khawatir hak para tenaga kerja tidak terwakilkan.
Perjalanan RUU Cipta Kerja menjadi UU pun penuh polemik. Di tengah pro dan kontra, pada 5 Oktober 2020 RUU Cipta Kerja resmi menjadi undang-undang. Pengesahan ini mengundang berbagai reaksi dan kecaman masyarakat. Selain susbtansi yang menimbulkan keresahan, perumusan dan pembahasan RUU Cipta Kerja dinilai tidak transparan dan diputuskan tergesa-gesa.
RUU Ciptaker merupakan usul inisiatif Pemerintahan Jokowi untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi atas beberapa UU existing agar lebih simple, tidak tumpang tindih, memangkas birokrasi dan potensi korupsi, memacu investasi baru, melindungi IKM/UMKM dan menciptakan lapangan kerja baru.
Tapi kenyataannya, sejak RUU ini diserahkan Pemerintah kepada DPR, telah memicu resistensi di ruang publik. Pihak yang kontra menduga akan sangat merugikan kepentingan pekerja/buruh, mengancam kerusakan lingkungan hidup, tidak menunjukkan sisi kemanusiaan, tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan pro pada kebutuhan business friendly.
Masyarakat di sejumlah daerah yang melakukan penolakan RUU Ciptaker merupakan akibat dari tidak transparannya pemerintah bersama DPR dalam penyusunan aturan tersebut. Pemerintah dan DPR cenderung menyembunyikan hasil final RUU Cipta Kerja, sehingga menimbulkan keresahan pada masyarakat luas yang terkena dampak dari peraturan tersebut.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan para aktivis menyesalkan buruknya keterbukaan informasi penyusunan RUU Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU Cipta Kerja. Kejar tayang yang dilakukan Pemerintah dan DPR telah meredukasi ruang partisipasi publik, terlebih lagi hak masyarakat atas informasi publik yang utuh, cepat, dan akurat.
Ruang partisipasi publik sudah difasilitasi oleh UU No. 12/2011 pada pasal 96, yang mengatur masyarakat (orang perseorangan/kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan peraturan perundang-undangan) berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Masukan secara lisan dan/atau tertulis itu dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat yang dimaksud dalam penjelasan pasal a quo adalah kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat. Pasal ini juga menegaskan bahwa RUU Ciptaker harus dapat diakses dengan mudah oleh publik untuk memberikan masukan.
Merujuk pada UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik adalah keterbukaan (Pasal 5 huruf g), ini bukti pentingnya partisipasi publik dalam proses pembuatan produk hukum. Penjelasan atas pasal tersebut, bahwa yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik mulai dari prolegnas/perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kalau menelisik lebih dalam tentang proses RUU ini, sejak diserahkan oleh pemerintah dan akhirnya disahkan dalam paripurna (5/10/2020) mendapatkan banyak kritik dan resistensi dari publik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya gelombang penolakan yang berkumandang di seantero republik yang dimotori mahasiswa (BEM) dan pekerja/buruh (Serikat Buruh) sebagai bukti bahwa transparansi belum terjadi. Puncaknya adalah kemarahan publik dengan turun ke jalan (berdemonstrasi) pasca pengesahan/penetapan UU Ciptaker. Ini refleksi atas ketidakpercayaan publik akibat proses yang tertutup, tergesa-gesa, tak lazim, dan berpihak pada pengusaha/investor.
Banyak pihak menilai pembahasan RUU Cipta Kerja sampai persetujuannya oleh DPR dan pemerintah berlangsung tidak transparan. Menyikapi hal ini, sikap sivitas akademika cenderung belum solid. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti mengatakan proses pembentukan RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) telah melanggar asas keterbukaan karena dilakukan secara tidak transparan dan minim partisipasi publik. Ia menyebutkan berdasar Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Keterbukaan menjadi salah satu asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
RUU Cipta Kerja diyakini tidak hanya melanggar norma-norma pembentukan. Namun, kata dia, lebih prinsipil melanggar asas-asas utama penyelenggaraan negara yang ada dalam UUD 1945 serta melanggar etika atau moral konstitusi. Secara prosedur UU Cipta Kerja ini tidak transparan, tidak sesuai dengan tata cara atau asas dalam pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan yang baik sehingga cacat secara demokrasi.
Secara substansi, UU Cipta Kerja juga memiliki beragam persoalan, antara lain memuat substansi liberalisasi sumber daya alam yang dapat mengancam kedaulatan negara. Hal tersebut tergambar melalui pemberian kemudahan pihak swasta dan asing dalam pembentukan Bank Tanah. UU Cipta Kerja ini juga berpotensi membuka ruang untuk liberalisasi pendidikan.
Kewenangan pemerintah untuk mengatur semua bidang pendidikan menjadi tidak terbatas Selain itu, UU Cipta Kerja juga dinilainya telah memberikan kewenangan sangat besar bagi pemerintah namun tak diimbangi dengan sistem pengawasan dan pengendalian terhadap aspek penegakan hukum.
Situasi ini telah menimbulkan kesan bahwa pemerintah dan DPR tidak berempati dengan publik yang tengah berjuang menghadapi Covid-19 dan memanfaatkan situasi ini untuk mensegerakan menjadi UU dengan harapan bisa mengatasi dampak akibat Covid-19. Padahal UU tersebut memiliki tujuan jangka panjang dan tidak bisa instan dalam upaya recovery perekonomian Indonesia yang porak-poranda akibat terdampak pagebluk sejak awal Maret 2020. Komunikasi publik yang tak matang oleh si pembuat UU menambah rumit keadaan, sehingga memaksa Pemerintah dan DPR harus memfasilitasi kanal-kanal informasi yang tersedia secara optimal dan tidak hanya mengandalkan TV Parlemen.
Publik menyimpulkan bahwa pembahasan dan pengesahan RUU Ciptaker telah abai memfasilitasi ruang partisipasi publik secara optimal yang dibuktikan terjadi penolakan masif dan si pembuat UU mempersilahkan publik yang tidak puas untuk melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Kenyataan ini menebalkan kesan bahwa RUU tersebut tidak aspiratif, partisipatif, dan informatif serta menegaskan telah terjadi hegemoni mayoritas atas minoritas di parlemen (super-majority).
Ada beberapa pemantik terjadinya penolakan dan polemik atas disahkan UU Ciptaker. Narasi yang dibangun pembuat UU di ruang publik melalui kanal-kanal informasi kurang optimal (komunikasi publik buruk dan tidak terbuka).
Tidak optimal mensinergikan dan merangkul para pemangku kepentingan mulai dari prolegnas, perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan/penetapan, dan pengundangan.
Pembuat UU menerapkan prinsip-prinsip transparansi yang telah diatur dalam UU KIP.
Pembuat UU tidak optimal memfasilitasi ruang partisipasi publik untuk pemangku kepentingan dan publik.
Pembuat UU memberikan durasi waktu yang singkat kepada publik untuk mengkritisi dan mempelototi draf RUU di tengah pagebluk.
Pembuat UU belum mengoptimalkan Pejabat Pengelola Informasi Publik (PPID) Utama yaitu Menteri/Kementerian Komunikasi dan Informatika RI sebagai speaker pemerintah.
*
Penulis adalah anggota Lembaga Pengkajian Penalaran dan Diskusi Hukum, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat