bakabar.com, JAKARTA - Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) Haykal Hubeis menilai penyerapan mineral mentah bauksit di Indonesia masih minim. Menurutnya penyerapan dalam negeri masih jauh dari kemampuan tambang bauksit yang ada.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (minerba) seharusnya setiap industri pertambangan harus membangun smelter untuk mendukung program hilirisasi mineral mentah. Imbas dari UU tersebut, sejak tahun 2014, setiap usaha pertambangan diminta untuk menyiapkan smelter untuk mendukung hilirisasi.
"Namun, pemerintah terus memberikan dispensasi waktu bagi perusahaan untuk membangun smelternya," kata Haykal dikutip Senin (10/4).
Berhubung pemerintah telah memberikan waktu yang cukup lama bagi perusahaan untuk bersiap-siap membangun smelternya, Haykal menilai kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah sudah tepat. Ini merupakan waktu yang tepat untuk memulai hilirisasi mineral mentah.
Baca Juga: Usai Bauksit dan Tembaga, Indonesia Siap-Siap Larang Ekspor Timah
Selanjutnya, para pelaku industri pertambangan bisa melakukan penjualan mineral mentah secara bussines to bussines kepada pihak smelter. "Bagi penambang yang terdampak bisa melakukan penjualan bauksitnya dengan pihak smelter,” jelasnya.
Selain itu, penjualan bauksit juga bisa diserahkan kepada mekanisme pasar. Dengan cara pemerintah turut memfasilitasi dan membantu para pelaku usaha pertambangan mengalokasikan produknya ke smelter yang tersedia.
"Jadi setelah adanya pelarangan ekspor, pemerintah dapat membantu pelaku usaha untuk memiliki mekanisme supply demand bijih bauksit agar seimbang," jelasnya.
Kendala Pembangunan Smelter
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) mengungkapkan Indonesia belum siap dalam menghadapi pelarangan ekspor bauksit yang akan diberlakukan mulai Juni 2023 mendatang.
Baca Juga: Jokowi Larang Ekspor Bauksit Juni 2023, ESDM: Freeport Tak Terkecuali
Pelaksana Harian Ketua Umum APB3I Ronald Sulistiyanto mengatakan salah satu faktornya adalah biaya yang harus digelontorkan untuk membuat satu smelter bauksit mencapai US$ 1,2 miliar atau setara dengan Rp18,6 triliun (asumsi kurs Rp15.532 per US$).
"Karena satu besar, kedua tidak feasible. Karena Himbara saja, Himpunan Bank Pemerintah itu tidak bisa memberikan kredit atau tidak bisa kerja sama untuk menciptakan equity," katanya dikutip Senin (10/4).
Selain itu, peran pemerintah dalam pengadaan fasilitas hilirisasi bauksit di Indonesia yang dianggap belum optimal turut menjadi alasan. Menurutnya, pemerintah seharusnya menyediakan pelabuhan atau pembangkit listrik yang bisa mempermudah ekosistem hilirisasi bauksit.
"Undang-undang itu seharusnya pemerintah juga ikut campur dong. Kan itu tugasnya bukan tugas pengusaha saja, tugas pemerintah dan pengusaha untuk mengejawantahkan perintah undang-undang," tutupnya.