bakabar.com, JAKARTA - Target pemerintah mencapai net zero emission (NZE) merupakan kewajiban, dan seharusnya direalisasikan lebih cepat dari tahun 2060.
Direktur Program dan Kampanye Trend Asia Ahmad Ashov Birry menegaskan hal itu. Menurutnya, dengan dipercepatnya target tersebut, maka upaya menjaga Bumi tidak mengalami kenaikan suhu global lebih dari 1,5c semakin terealisasi. Adapun di dalam negeri, selain penduduk menjadi lebih sehat, kualitas lingkungan menjadi lebih baik.
"Jadi bukan hanya realisitis target net zero emission itu, bahkan itu kewajiban dan harus tercapai sebelum target waktunya, karena menyangkut transisi iklim yang semakin terasa, suhu sekarang bisa sampai 45 derajat celcius," ujar Ashov Birry saat dihubungi bakabar.com, Rabu (17/5).
Indonesia harus mencapai target net zero emission lantaran sudah tertuang dalam Conference of Paraties (COP) yang merupakan mandatory dibawah Konvensi Perubahan Iklim PBB atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Baca Juga: Celios Pertanyakan Keseriusan Pemerintah Soal Pensiun Dini PLTU Batu Bara
Melalui Paris Agreement yang ditetapkan pada COP-21 di Paris, Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui UU No. 16 Tahun 2016 dan menuangkannya ke dalam aksi ketahanan iklim melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC).
Peningkatan target itu didasarkan pada kebijakan-kebijakan nasional terakhir terkait perubahan iklim, seperti kebijakan sektoral, antara lain FOLU Net-sink 2030, percepatan penggunaan kendaraan listrik, kebijakan B40, peningkatan aksi di sektor limbah seperti pemanfaatan sludge IPAL, serta peningkatan target pada sektor pertanian dan industri.
Secara spesifik di dalam ENDC itu, disebutkan Indonesia harus menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% dengan upaya sendiri, hingga 43,20% dengan bantuan internasional pada tahun 2030.
Pengurangan emisi karbon menjadi 31,89% setara dengan 912 juta ton CO2 pada tahun 2030. Sebelumnya, Indonesia menargetkan pengurangan emisi karbon 29% atau setara dengan 835 juta ton CO2.
Baca Juga: Pensiun Dini PLTU Batu Bara, Menkeu: Transisi ke Energi Bersih
Sementara itu, dalam kerangka COP-26 (2021) di Glasgow Inggris, terdapat poin bantuan internasional untuk mempercepat akselerasi transisi menuju energi terbarukan. Indonesia berkomitmen untuk menetapkan pencapaian targetnet zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.
"Secara imperatif, adalah keharusan Indonesia menurunkan emisi karena masing-masing negara telah berproses di UNFCC dan harus punya kontribusi, dan Indonesia bagian andilnya sudah ada, dan sebenarnya lebih cepat targetnya," ujar Ashov.
Dilihat dari sisi potensi energi terbarukan yang dimiliki, Indonesia memiliki cadangan yang sangat besar. Sehingga transisi energi menjadi sebuah keharusan, lantaran potensi energi terbarukan sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.
Oleh sebab itu, kata Ashov, sangat masuk akal jika seharusnya seluruh PLTU dipastikan berhenti beroperasi sebelum tahun 2060.
Baca Juga: PLTU Paiton Tidak Pensiun Dini, Dirut PLN: Gunakan Biomassa 100 Persen
"Kalau kita dari sisi potensi energi yang dimiliki, seperti angin, air, surya, potensi energi terbarukan sangat realistis untuk menggantikan energi fosil khususnya batu bara. Kalau kita ukur lagi, seharusnya PLTU tahun 2040 ditutup semua," terang Ashov.
Selanjutnya, menurut Ashov, penutupan PLTU dapat dilakukan secara bertahap. Langkah lainnya, pemerintah bisa membuat peraturan terkait pencabutan subsidi yang diberikan kepada industri energi fosil.
"Penutupan PLTU ini bisa dilakukan dengan cara lain yaitu mempercepat peraturan bagaimana pemerintah mulai menarik subsidi yang ditekankan kepada industri fosil. Itu bisa membantu Indonesia menuju transisi," paparnya.
Ashov berpendapat, SDM Indonesia kini lebih mampu menerapkan teknologi untuk mengolah energi terbarukan. Buktinya, banyak lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang telah mencetak SDM berkualitas dalam menciptakan dan mengaplikasikan teknologi energi terbarukan.
Baca Juga: Pensiun Dini PLTU, Program Prioritas Pendanaan JETP
"Sebenarnya kalau teknologi solar, tenaga angin, tenaga air, dalam usaha kecil ataupun gelombang harusnya Indonesia mampu, banyak fakultas-fakultas teknik kita, artinya kalau diberikan ruang dan anggaran, seharusnya mampu kita mengolah teknologi itu," jelasnya.
Selain mengoptimalkan SDM dalam negeri, pemerintah diminta melakukan diplomasi dengan negara-negara maju untuk melakukan transfer teknologi energi terbarukan. Pemerintah seharusnya mampu menekan negara maju agar bersedia melakukan transfer teknologi ke negara-negara berkembang seperti Indonesia. Lantaran hal tersebut juga tertuang dalam ratifikasi COP.
"Jadi kita harus bisa bilang ke negara maju, kita tidak nggak mau teknologi kotor dan usang, poinnya adalah keharusan bagi negara-negara maju untuk mentransfer teknologinya" imbuh Ashov.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi, IESR: Regulasi Setara Antara EBT dan Energi Fosil
Sementara terkait dengan keberlanjutan industri batu bara, setelah Indonesia mencapai target net zero emission, Ashov beranggapan, sebaiknya seluruh industri pertambangan batu bara dihentikan. Semua konsensus tambang batu bara hendaknya dicabut demi pengurangan emisi GRK secara drastis.
"Jadi menurut saya batu bara yang terbaik itu adalah batu bara yang tidak digali. Sudah selesai untuk urusan batu bara, buat apa kita punya energi terbarukan kalau masih pakai batu bara yang sangat kotor," pungkasnya.