bakabar.com, JAKARTA - Institute for Essential Services Reform (IESR) menganalisis, setidaknya dalam lima tahun terakhir, rata-rata investasi energi terbarukan hanya mencapai USD 1,6 miliar per tahun.
Menurut Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo, angka itu sekitar 20 persen dari total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23% di 2025.
Sementara itu, menyoroti dukungan internasional, berdasarkan hitungan IESR, terdapat potensi pendanaan dari internasional sebesar USD 13,1 miliar atau 35,4%.
Jumlah itu, sepengetahuan Deon berasal dari total proyeksi kebutuhan pembiayaan sebesar USD 36,95 miliar pada tahun 2025 untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23%.
Baca Juga: Sambut ATSF Versi Kedua, IESR Dorong Akselerasi Pembiayaan Hijau
“Transisi energi penting diakselerasi untuk menarik investasi, meningkatkan daya saing industri, dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," terang Deon saat Media Luncheon: Mengenal Taksonomi Hijau dan Perkembangan Transisi Energi di ASEAN di Jakarta (4/5).
Oleh karena itu, IESR menilai perlu adanya akselerasi dengan cara membangun ekosistem pengembangan teknologi emisi bersih seperti energi terbarukan.
"Taksonomi hijau merupakan langkah awal," imbuhnya.
Selanjutnya, pemerintah bisa memformulasikan kebijakan jangka panjang yang memberikan kepastian investasi energi terbarukan. "Termasuk menciptakan kerangka regulasi yang minimal setara antara energi terbarukan dan energi fosil,” kata Deon.
Baca Juga: Ekspor Listrik ke Singapura, IESR: Menarik Investasi di Panel Surya
Deon menerangkan, kedua faktor tersebut menjadi penting untuk mengurangi risiko investasi di energi terbarukan dan menarik pendanaan untuk proyek energi terbarukan.
Lainnya, insentif untuk industri teknologi energi bersih perlu dibangun agar Indonesia dan negara ASEAN lain juga mendapat manfaat pertumbuhan ekonomi yang lebih optimal dari transisi energi.
Atas dasar itu, IESR menyambut baik terbitnya taksonomi hijau edisi kedua, yakni ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance versi kedua (ATSF v2) pada Maret 2023 yang digagas ASEAN Taxonomy Board (ATB).
Taksonomi itu, kata Deon, menjadi panduan dalam mengklasifikasi kegiatan ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan pembiayaan hijau. Hal itu sekaligus sebagai upaya strategis untuk menarik investasi global ke ASEAN dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.
Baca Juga: Skema Power Wheeling, IESR: Tidak Merugikan PLN
"Salah satu hal yang baru dan pertama kalinya dipertimbangkan dalam ASEAN Taksonomi versi kedua ini adalah pengakhiran operasional PLTU batubara secara bertahap sebagai upaya pengurangan emisi gas rumah kaca secara signifikan untuk mencapai target Persetujuan Paris," ungkap Deon.
Masuknya penghentian operasional PLTU itu diharapkan dapat memfasilitasi ragamnya pemahaman negara anggota ASEAN terhadap transisi energi yang berkeadilan.