bakabar.com, JAKARTA - Institute for Essential Services Reform (IESR) menyambut baik terbitnya ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance versi kedua (ATSF v2) untuk menarik investasi global ke ASEAN dalam mendukung pembangunan berkelanjutan
Dalam ASEAN Taksonomi versi kedua ini adalah pengakhiran operasional PLTU batubara menjadi langkah strategis untuk mencapai target Persetujuan Paris.
"Masuknya penghentian operasional PLTU ini diharapkan dapat memfasilitasi ragamnya pemahaman negara anggota ASEAN terhadap transisi energi yang berkeadilan," kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam diskusi IESR di Jakarta, Kamis (4/5).
Baca Juga: Transisi Energi Terbarukan dan LCT, Kemenlu: Jadi Prioritas Visi ASEAN
ATSF versi 2 itu juga menyertakan kriteria penyaringan teknis (Technical Screening Criteria, TSC) terhadap pembiayaan transisi energi, termasuk pengakhiran operasional PLTU batubara, ke dalam kategori Hijau dan Kuning.
TSC merupakan kriteria kuantitatif atau kualitatif yang menjadi dasar penilaian klasifikasi apakah suatu aktivitas termasuk dalam kegiatan Green (Hijau, berkontribusi sangat penting terhadap tujuan lingkungan), Amber (Kuning, belum memenuhi kriteria untuk Hijau).
“Lebih dari separuh listrik di ASEAN berasal dari PLTU batubara. Sedangkan untuk mencapai target Persetujuan Paris, seluruh PLTU harus dipensiunkan pada 2040," lanjutnya.
Pendanaan Hijau untuk Pensiun Dini PLTU
Bersadarkan data dari IESR lebih dari 50% PLTU yang beroperasi di kawasan Asia Tenggara berusia kurang dari 10 tahun memiliki konsekuensi bahwa pengakhiran dini PLTU membutuhkan sumber pembiayaan yang cukup besar.
Selain itu, dikombinasi dengan pembiayaan untuk pembangunan pembangkit energi terbarukan untuk memastikan keamanan pasokan energi di kawasan yang ekonominya tumbuh pesat.
"Dalam konteks ini ATSF v.2 dapat mengakselerasi pengakhiran operasi PLTU di ASEAN melalui pendanaan hijau,” ungkapnya.
Baca Juga: Jalan Panjang Transisi Energi, Antara Pembiayaan dan Keekonomian
Indonesia dapat memperkuat kerja sama di antara negara-negara ASEAN dalam mengatasi tantangan transisi energi, di antaranya rendahnya investasi di sektor energi terbarukan dan pengakhiran operasional PLTU batubara.
Pasalnya, Indonesia telah memiliki beberapa peluang pendanaan internasional untuk pengembangan energi terbarukan dan pengakhiran operasional PLTU batubara melalui skema JETP.
Kemudian, Energy Transition Mechanism (ETM), dan Clean Investment Fund-Accelerated Coal Transition (CIF-ACT) dengan total USD 24,05 miliar.
Namun, IESR mengkaji setidaknya diperlukan USD 135 miliar hingga 2030 untuk biaya transisi energi di Indonesia, termasuk pengakhiran operasi PLTU.
“Masuknya pembiayaan pengakhiran operasional PLTU ke dalam kategori kuning dan hijau bakal memperbesar peluang untuk melakukan pendanaan terkait transisi energi," ujar Fabby.
Baca Juga: Desakan Transisi Energi Kian Kuat, Perusahaan Migas Wajib Siapkan Ini
Koordinator Proyek Pembiayaan Berkelanjutan, Ekonomi Hijau IESR Farah Vianda menilai perlu adanya komunikasi yang jelas dari pihak regulator kepada lembaga keuangan untuk memperbolehkan pembiayaan untuk kegiatan tersebut.
Sebab, beberapa lembaga keuangan sudah melakukan komitmen untuk tidak lagi mendukung pendanaan terkait batubara.
Berdasarkan analisis IESR, selama lima tahun terakhir, rata-rata investasi energi terbarukan hanya mencapai USD 1,6 miliar per tahun atau 20 persen dari total investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23% di 2025.
Pendanaan Internasional
Sementara itu, menyoroti dukungan internasional, berdasarkan hitungan IESR, terdapat potensi pendanaan dari internasional sebesar USD 13,1 miliar atau 35,4% dari total proyeksi kebutuhan pembiayaan sebesar USD 36,95 miliar pada tahun 2025 untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23%.
“Transisi energi penting diakselerasi untuk menarik investasi, meningkatkan daya saing industri, dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," kata Farah.
Baca Juga: Transisi Energi Terancam Melambat, Celios Desak Lembaga Keuangan Hentikan Pembiayaan PLTU
Untuk itu, perlu diakselerasi dengan cara membangun ekosistem pengembangan teknologi emisi bersih seperti energi terbarukan. Taksonomi hijau merupakan langkah awal.
Selanjutnya, pemerintah bisa memformulasikan kebijakan jangka panjang yang memberikan kepastian investasi energi terbarukan.
"Insentif untuk industri teknologi energi bersih perlu dibangun agar Indonesia dan negara ASEAN lain juga mendapat manfaat pertumbuhan ekonomi yang lebih optimal dari transisi energi," pungkasnya.