bakabar.com, JAKARTA - Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih terjadi persoalan dari sejumlah pihak. Salah satunya, Pengamat Hukum sekaligus pegiat HAM dari Jentera, Asfinawati merasa sanksi dengan komunikasi politik pemerintah jelang pengesahan KUHP.
"Kita tahu, bahwa dalam komunikasi politik pemerintah, mereka bilang ini Pancasila, Dasar Negara, dan lain-lain. Dan tidak semua orang di Indonesia bahagia dengan Pancasila, tapi tetap diberlakukan," ujar Asfinawati dalam diskusi Kedai Kopi bertajuk 'Merangkum 2022, Menyambut 2023' di Jakarta, Minggu (18/12).
Baca Juga: Aparat Tangkap Mahasiswa Saat Aksi Tolak KUHP, LBH Bandung: Sewenang-wenang!
Meski ia menyebut tidak semua warga negara Indonesia bahagia dengan Pancasila, ungkapan tersebut tidak bermaksud menegaskan dirinya anti-Pancasila. Namun lebih menunjukkan tengah terjadi paradoks dalam proses pengesahan KUHP.
"Pernyataan seperti tu dipersoalkan yang lain, kan tidak demikian. Karena itulah Mahkamah Konstitusi sudah mengingatkan ada kecenderungan dalam Cipta Kerja, partisipasinya tidak bermakna," imbuhnya.
Dirinya mencontohkan bagaimana seharusnya partisipasi bermakna itu. Menurutnya, pandangan publik tidak hanya sampai sekedar didengar, ditemui, atau diajak berdialog, melainkan juga dipertimbangkan.
"Dijelaskan (juga) kalau ada yang tidak dipertimbangkan, tidak diambil, dijelaskan juga dong, kenapanya. Saya pikir itu kan tidak terjadi (di masa) sekarang," katanya.
Baca Juga: Potensi KUHP Kriminalisasi Jurnalis, Komisi III Sebut UU 40 Jadi Benteng Kebebasan Pers
Selain itu, ia juga mengkhawatirkan nasib para jurnalis yang bisa saja dibatasi oleh pasal yang ada di KUHP yang baru. Menurutnya, ada suatu pasal yang tidak sesuai dengan kerja-kerja jurnalistik di lapangan.
"Saya sangat khawatir dengan teman-teman media, karena ada satu pasal yang bilang memberitakan yang berlebih-lebihan, tidak pasti. Pertanyaannya, berlebihan seperti apa? Online kan tidak mungkin lengkap, kan suka dibagi (bagiannya). Tidak akan muat beritanya,” pungkasnya.