Wacana Redenominasi Rupiah

Pemerintah Wacanakan Redenominasi Rupiah, Celios: Awas Hyperinflasi

Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan wacana pemerintah untuk redenominasi rupiah dikhawatirkan memicu terjadinya hyperinflasi.

Featured-Image
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. (Foto: Antara)

bakabar.com, JAKARTA – Center of Economic and Law Studies (Celios) khawatir wacana pemerintah melakukan redenominasi rupiah akan memicu terjadinya hyperinflasi.

Direktur Celios Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa tingkat inflasi saat ini, tidak dalam posisi yang cukup baik untuk mendukung rencana redenominasi tersebut.

"Pertimbangan sebelum lakukan redenominasi yakni stabilitas inflasi harus terjaga. Pra kondisi ideal adalah inflasi kembali ke level pra pandemi dulu, atau dikisaran 3 persen,” ujarnya kepada bakabar.com Kamis (23/3).

Alasannya adalah perubahan nominal uang hasil redenominasi mengakibatkan para pedagang akan melakukan kenaikan harga dengan pembulatan ke atas.

Baca Juga: Bank Indonesia Akui Krisis Finansial di Amerika Sebabkan Rupiah Anjok

“Misalnya harga barang sebelum pemangkasan nominal uang Rp9.200 kemudian tidak mungkin jadi Rp9,5 paska redenominasi, yang ada sebagian besar harga dijadikan Rp10,” tuturnya.

Hal tersebut akhirnya memicu terjadinya kenaikan inflasi yang terlalu tinggi atau hyperinflasi. Jika demikan, negara akan sulit mengendalikan harga bahan pokok yang berujung pada krisis ekonomi.

Selain itu, fakta menunjukkan bahwa beberapa negara yang telah melakukan redenominasi mata uang justru mengalami krisis berkepanjangan. Ketidaksiapan infrastruktur menjadi penyebab dari kegagalan redenominasi mata uang tersebut.

“Negara seperti Brazil, Rusia dan Argentina karena kurangnya persiapan teknis, sosialisasi, kepercayaan terhadap pemerintah rendah, hingga momentum saat ekonomi alami tekanan eksternal,” ungkap Bhima.

Baca Juga: Delapan Jurus dari Celios Cegah Potensi Resesi 2023

Di sisi lain, momentum pemulihan ekonomi sebaiknya jangan melahirkan kebijakan yang kontraproduktif. Hal itu dapat mempengaruhi administrasi dan akuntansi puluhan juta perusahaan dan UMKM di Indonesia.

Kebijakan redenominasi akan membuat para pelaku usaha sibuk dengan penyesuaian harga. Sehingga, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia justru akan terhambat seiring dengan menurunnya produktivitas.

Persoalan lainnya adalah periode pemilu yang semakin dekat, sementara kondisi nilai tukar (kurs) mata uang rupiah saat ini cenderung fluktuatif. Hal itu tentu berpotensi menimbulkan gejolak di dalam negeri.

“Saya kira momentum redenominasi perlu dikaji secara serius. Jangan terburu-buru dan benar-benar ketika kondisi ekonomi sudah stabil,” jelasnya.

Baca Juga: Startup Gencar Promo, Celios: Jadi Penyebab Kerugian

Menurut perkiraan Bhima, dibutuhkan waktu setidaknya 10 tahun lagi agar Indonesia siap melakukan redenominasi Rupiah. Adapun wacana redenominasi telah berlangsung sejak lama.

Dengan kondisi saat ini, hal itu dianggap bertentangan dengan kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah. Pasalnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah telah menjadi bagian dari rencana jangka menengah yang diteken oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Kebijakan itu diundangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024. Namun sampai saat ini, belum ada kelanjutan dari RUU Redenominasi Rupiah tersebut.

Editor
Komentar
Banner
Banner