bakabar.com, JAKARTA - Isu politik uang masih terus menghantui jelang digelarnya Pemilu 2024. Cara tersebut dilakukan untuk memengaruhi orang lain dalam melakukan mobilisasi suara. Politik uang dinilai berpotensi merusak kualitas demokrasi.
"Memang arah dari praktik politik uang ini lebih banyak ke pemilih," kata Mada Sukmajati, Dosen Departemen Politik, FISIPOL UGM di Jakarta, Minggu (17/12).
Mada mengurai politik uang merupakan persoalan lingkaran setan yang saling terkait satu sama lain.
Baca Juga: SAFEnet Waspadai Polarisasi Medsos di Pemilu 2024
Hulu dari politik uang terjadi sejak di internal partai politik. Khususnya dalam pemilihan ketua baik di level kabupaten hingga pusat sering menyusupkan agenda politik uang untuk membeli suara di anggotanya.
"Sekali lagi ini tidak di semua partai politik," ungkapnya.
Politik uang kemudian berlanjut saat permintaan izin menjadi kepala daerah di level DPP parpol. Tak hanya itu, demi memuluskan keinginan nomor wahid di urutan pemilihan calon legislatif di daerah juga terjadi politik uang.
"Terakhir menindaklanjuti politik uang saat berlangsungnya kampanye dengan sasaran para pemilih," terangnya.
Baca Juga: Bahaya Disinformasi di Sekitar Penyelenggaraan Pemilu
Mada menerangkan politik uang sering dimulai saat masa tenang kampanye. Kemudian semakin gencar saat mendekati waktu pemilihan.
Mada kemudian mengistilahkannya dengan serangan fajar, serangan pagi, seragan siang dan seterusnya tergantung konteks kapan mahar politik tersebut diberikan.
Politik uang kemudian dilanjutkan dalam bentuk program di antaranya seperti program pembangunan dan pelayanan publik.
"Termasuk dalam bentuk pelayanan seperti janji atas persediaan berbagai pelayanan dan aktivitas," paparnya.
Baca Juga: Media Digital Berkembang, Kualitas Demokrasi Menurun
Mada melanjutkan politik uang kemudian dilakukan dengan cara patronase dengan memberikan sumbangan untuk keperluan ibadah, sumbangan peralatan olahraga hingga sumbangan untuk komunitas tertentu.
Selanjutnya, yang paling jamak dilakukan politik uang untuk pembelian suara dengan memberikan uang tunai dan pemberian barang secara langsung.
"Kalau pemilu ke depan sepertinya tantangannya politik uang dilakukan dengan transaksi digital. Membuat semakin susah diungkap," terangnya.
Baca Juga: Langkah Abu-abu 3 Capres soal Penyelesaian Pelanggaran HAM di Papua
Berkembang pesatnya politik uang, imbuh Mada, kemudian membuat politik uang menjadi semakin melembaga.
Di antaranya dengan membentuk jaringan distribusi politik uang dari level provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, hingga ke level RT/RW.
"Semakin lokal pemilunya semakin rentan. Politik uang lebih sering diberikan kepada pemilih loyal," ujarnya.
"Masyarakat kita sangat toleran. Tidak setuju secara normatif. Tapi mereka menerima saat politik uang dilakukan," tandasnya.