bakabar.com, JAKARTA - Jaringan advokasi tambang (JATAM) mengendus kongkalikong aparat di balik bisnis gelap pertambangan ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim). Modusnya pun terbilang baru.
Biasanya dalam 10 ribu hektare luasan konsesi pertambangan atau lebih, terlihat penjagaan oleh aparat diduga polisi dan tentara. Seperti negara dalam negara, tak sembarang orang bisa masuk.
Baca Juga: Polisi di Sektor SDA, Aktivis: Pembenahan Menyeluruh Harus Dilakukan
Baca Juga: Bikin Tekor Negara! Jatam Bongkar 5 Pola Tambang Ilegal di Kaltim
"Di lapangan sudah dijaga oleh polisi atau kadang tentara, dan dipasang dengan papan nama objek vital nasional (obvitnas)," jelas aktivis dari JATAM Kaltim Mareta Sari dalam diskusi bertajuk "Riwayat Kepolisian dalam Bisnis Keamanan Pengelolaan Sumber Daya Alam" di Kantor YLBHI, Jakarta, Selasa (27/6).
Baca Juga: Pengamat: Penunjukan Wakapolri Agus Bikin Kasus Ismail Bolong Stagnan
Mareta menceritakan pengalamannya saat melakukan perjalanan ke salah satu pertambangan batu bara di Kecamatan Sanga-Sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara pada 2017 silam. Di pos pertama pertambangan tersebut mulanya yang terlihat hanyalah menjaga beberapa satpam. Namun begitu memasuki pos Kedua, barulah terlihat sejumlah petugas berseragam loreng yang berjaga.
"Biasanya ada pengamanan-pengamanan tersendiri, jadi tidak bisa diakses oleh masyarakat umum, bahkan orang yang tinggal di sekitar wilayah tersebut," ujarnya.
Baca Juga: Hari Anti Tambang 2023, JATAM: Lawan Kolonialisme Industri Ekstraktif
Selain itu, ia juga menemukan fakta di lapangan di mana terdapat izin yang tumpang tindih di konsesi tersebut. Seperti di wilayah kelola Pertamina.
"Tetapi di atas wilayah kelola tersebut terdapat berbagai izin tumpang tindih," jelasnya.
"Salah satunya milik petinggi negara kita," ujarnya menyebut nama seorang menteri senior yang memiliki pengaruh besar di kabinet saat ini.
Di Kalimantan Timur, mengacu ke data Jatam jumlah pertambangan berizin dan ilegal terus meningkat. "Sekarang jumlahnya sekarang hampir 200. data 2022 ada 168," ujarnya.
Baca Juga: Diterpa Isu LHKPN hingga Ismail Bolong, Komjen Agus Tetap Dilantik
Mareta kemudian menyinggung skandal kasus Ismail Bolong, mantan anggota intelijen Polresta Samarinda yang tajir melintir diduga setelah mengalirkan dana miliaran rupiah hasil bisnis gelap penambangan ke sejumlah petinggi Polri salah satunya Wakapolri saat ini Komjen Agus Andrianto.
Baca Juga: Kalah Senior, Kapolri Berani Usut Herry Rudolf Nahak?
"Dari berbagai video yang beredar, kita lihat waktu video pertama dia mengakui bahwa dia mengucurkan sebanyak 3 miliar rupiah kepada wakil kepala kepolisian dan jumlah itu sangat fantastis karena hanya dalam tahun 2021-2022," ujarnya.
Mareta juga menyebut ada sejumlah nama yang juga terlibat dalam bisnis gelap pertambangan batu bara atau yang nantinya disebut-sebut taipan-taipan dari Kalimantan Timur.
Baca Juga: Mafia Tambang Ismail Bolong: Sikap Komisi Kejaksaan Disayangkan
Mereka diduga menjadi bagian yang mengatur lalu lintas perdagangan batu bara ilegal. Diduga kuat memiliki hubungan erat dengan aparat kepolisian. "Kewenangan untuk menangani kasus pertambangan batu bara ilegal itu 'kan ada di kepolisian," ujarnya.
Baca Juga: Ada Ratu Batu Bara di Kaltim, Polda Belum Banyak Tahu
JATAM Kaltim dan sejumlah masyarakat sejatinya telah melapor. Sayang, dari 11 laporan, kata dia, baru ada 3 laporan yang ditindaklanjuti. "Itu laporan dari 2018, enggak sampai 50% yang ditangani, kinerjanya sangat lambat," ujarnya.
"Sehingga kami bisa menjustifikasi bahwa memang ada kongkalikong antara pihak aparat dengan penambang batubara ilegal," pungkasnya.
Rugikan Negara Triliunan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menemukan sebanyak 2.741 lokasi pertambangan tanpa izin sepanjang tahun 2022.
Menteri ESDM Arifin Tasrif telah menyebut kegiatan pertambangan tanpa izin itu telah membikin tekor negara. Termasuk para pemegang izin pertambangan itu sendiri.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya:
"Potensi kerugian untuk 16 wilayah kontrak karya tahun 2019 mencapai Rp1,6 triliun, estimasi tahun 2022 Rp3,5 triliun," terang Menteri Tasrif di Sarasehan Sinkronisasi Tatakelola Pertambangan Mineral Utama Persepktif Pohukam, Selasa (21/3).
Menteri Arifin mengusulkan penyelesaian masalah PETI, salah satunya dengan memperluas izin pertambangan. Dengan begitu, tambang-tambang ilegal tersebut akan dimasukkan ke dalam konsesi yang berizin.
Baca Juga: Diterpa Isu LHKPN hingga Ismail Bolong, Komjen Agus Tetap Dilantik
Menurutnya, aturan di UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) mengakomodir soal itu. Dalam salah satu beleidnya; jika diperlukan izin dari pertambangan resmi diperluas.
"Misal sebelumnya 25 hektare menjadi 100 hektare, sehingga tambang-tambang ilegal masuk ke dalam konsesi yang berizin." ungkap Arifin.
Selain itu, izin perluasan sebagaimana termaktub di UU Minerba. Utamanya kewenangan mengenai eksplorasi mineral logam tak lagi menjadi domain pemerintah provinsi. Semuanya telah diambil alih oleh pemerintah pusat.
Perubahan itu disebabkan UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang akhirnya direvisi. Sebab, dianggap tak mampu menjawab perkembangan hingga kebutuhan hukum terkait penyelenggaraan pertambangan yang baik.
"Kita minta Pemprov atau Pemda untuk rekomendasikan masuk ke dalam Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Kemudian akan dibina, bagaimana bisa melakukan pengelolaan pertambangan yang baik. Termasuk manajerial yang perlu dilengkapi," papar Tasrif.