Hari Anti Tambang

Hari Anti Tambang 2023, JATAM: Lawan Kolonialisme Industri Ekstraktif

Tragedi bencana sosial-ekologis semburan Lumpur Panas Lapindo, yang hari ini genap telah berlangsung 17 tahun.

Featured-Image
Tangkapan layar - Hari Anti Tambang (HATAM) mulai diperingati sejak 29 Mei 2011 lalu. HATAM adalah sebuah peringatan nyata atas daya rusak industri ekstraktif yang tak berhenti menuai bencana sosial-ekologis. Foto: Panggung Rakyat - Hari Anti - Tambang 2023/ Mining Advocacy Network

bakabar.com, JAKARTA - Bencana sosial-ekologis semburan lumpur panas Lapindo pada Senin (29/5) genap telah berlangsung 17 tahun. Peristiwa itu menjadi salah satu penanda penting, bahwa model pengembangan ekonomi yang bertumpu pada ekstraktif justru memicu bencana sosial-ekologis berkepanjangan, tak terpulihkan.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai, tragedi itu seharusnya menjadi dasar yang kuat bagi pemerintah untuk menghentikan ketergantungan pada industri ekstraktif, baik sebagai sumber pemenuhan energi maupun penopang ekonomi.

Semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, telah menenggelamkan 1.143 hektar lahan di 19 desa dan memaksa 22.214 warganya mengungsi. Bagi Harwati, penyintas Lapindo, derita warga korban lumpur Lapindo masih berlangsung hingga saat ini.

"Dimana sumber-sumber air warga tercemar logam berat dari dan warga yang setiap hari menghirup gas beracun dari lumpur panas Lapindo," ujar Harwati dalam keterangannya di Jakarta, Senin (29/5).

Baca Juga: Jatam Ungkap Jejak Kejahatan Lingkungan Harita Group di Obi dan Wawonii

Dia menambahkan, "Bahkan warga terancam dirampas hak sipil-politiknya akibat rencana penghapusan administrasi empat desa yang terdampak semburan Lumpur Lapindo, yakni Desa Renokenongo, Desa Besuki, Desa Kedung Bendo dan Desa Ketapang."

Bencana industri tambang itu menjadi tonggak awal penetapan Hari Anti Tambang (HATAM) yang mulai diperingati sejak 29 Mei 2011 lalu. HATAM adalah sebuah peringatan nyata atas daya rusak industri ekstraktif yang tak berhenti menuai bencana sosial-ekologis.

Div. hukum Jatam Nasional, Muh. Jamil menilai, bencana sosial-ekologis yang muncul dari industri ekstraktif pertambangan, tak hanya terjadi di kasus Lumpur Lapindo. Bencana serupa terjadi dan semakin meluas di berbagai tempat, tidak peduli pemukiman warga, kawasan lindung-konservasi, kawasan rawan bencana, hingga wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Bahkan, kata Jamil, penghancuran ruang hidup warga oleh industri ekstraktif, dilakukan dengan mendompleng narasi-narasi krisis iklim. Krisis yang tercipta dari operasi industri ekstraktif itu sendiri. Caranya membungkus operasi-operasi industri tambang dengan jargon transisi energi, ekonomi rendah karbon, teknologi ramah lingkungan, hingga klaim energi bersih dan berkelanjutan.

Baca Juga: Pulau Bunyu Terancam, Jatam: Imbas Ketamakan Pemerintah

"Sebagaimana yang terjadi dalam industri geothermal alias pertambangan panas bumi yang diklaim sebagai energi ramah lingkungan, bersih dan berkelanjutan," tuturnya

Teror atas hidup warga sehari-hari terus berlangsung, dimulai dari perambahan lahan produksi warga, ekstraksi dan pencemaran bentang-bentang air, peracunan udara oleh gas H2S, pencemaran panas dan pencemaran bising dari pengerahan mesin-mesin pembongkar dan penggali sumur, perakitan pipa-pipa raksasa pengalir uap, turbin raksasa pembangkit tenaga listrik, sampai pemasangan jalinan kabel transmisi dan distribusinya.

Situasi itu, ungkap Jamil, tengah dialami oleh lebih dari 350 sasaran mata bor tambang panas bumi di seluruh kepulauan Indonesia. Seluruh rerantai operasi bisnis pembangkitan listrik dengan penambangan panas bumi, termasuk proses produksi instrumen regulasi sebagai komoditi esensial bagi industri berbahaya ini, menuntut kesuka-relaan rakyat untuk dibatalkan kemerdekaannya, dicabut hak-haknya, bahkan meregang nyawa.

"Sebagaimana yang terjadi di Sorik Marapi pada 25 Januari 2021 lalu, dimana lima warga, dua diantaranya anak-anak, meregang nyawa akibat keracunan gas H2S dari operasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) milik PT Sorik Marapi Geothermal Power," paparnya.

Baca Juga: Kongkalikong Polisi di Balik Tambang Ilegal, JATAM: Bukan Barang Baru!

Namun begitu, upaya perlawanan warga tambang panas bumi itu juga semakin menguat di berbagai wilayah. Di Wae Sano dan Poco Leok, Flores, hingga kini PLTP gagal beroperasi karena penolakan dan perlawanan warga.

Hal yang sama juga dilakukan warga di Padarincang, Kabupaten Serang, yang sejak 2013 berhasil menghadang operasi PT Sintesa Banten Geothermal yang berencana menambang panas bumi di Gunung Prakasak.

"Upaya korporasi tambang untuk mengemas operasi penghancuran ruang hidup warga dengan dalih ekonomi rendah karbon dan ramah lingkungan tidak hanya terjadi di industri geothermal," katanya.

Di industri nikel juga serupa. Dengan dalih pengembangan ekosistem kendaraan listrik, menurut Jamil, industri tersebut telah menghancurkan ruang hidup warga khususnya di kawasan timur Indonesia.

Baca Juga: Harita Nickel Bantah JATAM Terkait Kerusakan Lingkungan di Pulau Obi

"Belum lagi ratusan ribu ton batubara yang terus dikeruk dan dipasok ke smelter-smelter di kawasan industri pengolahan nikel, yang memperparah penghancuran di Kalimantan," ujarnya.

Jamal menambahkan, "Sialnya, hingga kini ekstraktivisme masih menjadi warna dominan, bahkan makin menguat."

Hal itu tercermin dari lahirnya berbagai regulasi yang memperkuat kendali oligarki atas Negara. Oligarki bisnis dan politik dalam episode mutakhirnya saat ini telah mampu menguasai struktur negara.

"Operasi kejahatan tersebut juga ditopang oleh pengerahan aparat keamanan negara untuk menciptakan kekerasan terbuka yang telah berlangsung jauh lebih lama," ungkapnya.

Baca Juga: Simpang Siur Ismail Bolong, Indikasi Mafia Tambang Kalimantan Menguat

Investasi industri ekstraktif telah menjadi pilihan yang dianggap paling mudah oleh pemerintah, sehingga peraturan yang diterbitkan justru menyasar kepentingan industri ekstraktif. Mulai dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 142 tentang Kawasan Industri, di mana salah satu pasalnya memungkinkan industri dikecualikan dari izin lingkungan sebagai kewajiban perizinan.

Kemudian, PP Nomor 24 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, atau dikenal dengan Online Single Submission (OSS), yang memungkinkan korporasi mendapat perizinan terlebih dahulu, sementara penyelesaian izin lingkungan dapat dilakukan menyusul secara bertahap.

Bahkan, kata Jamal, karpet merah investasi telah ditandai dengan revisi UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi UU No 3 tahun 2020, serta UU Cipta Kerja hingga aturan turunannya.

Baca Juga: Dayak Labuhan Kecam Aktivitas Tambang di Meratus!

"Infrastruktur hukum yang bias kepentingan seperti itu, kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan yang mengakomodasi kepentingan pelaku industri, memiskinkan warga dan merusak lingkungan," terangnya.

Akibatnya, papar Jamil, pembangunan nasional yang identik dengan pertumbuhan ekonomi justru semakin jauh dari pemerataan. "Konsep pembangunan seperti itu hanya melahirkan konglomerasi baru yang terisolasi dari sebagian besar masyarakat serta tidak ramah terhadap keberlanjutan lingkungan," tutupnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner