Menuju Tahta Istana

MK Dinilai Menyimpang Ketuk Putusan Istimewa bagi Gibran

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan penyimpangan dalam putusan yang memuluskan Gibran

Featured-Image
Bakal cawapres Gibran Rakabuming Raka (kiri) didampingi Istri Selvi Ananda (tiga kanan) melambaikan tangan setibanya di kediaman Prabowo Subianto di Kertanegara, Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (25/10/2023). (ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww)

bakabar.com, JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan penyimpangan dalam putusan yang memuluskan Gibran Rakabuming Raka.

“Ada dugaan untuk dapat meloloskan satu skenario politik tertentu yang mengesampingkan asas yang paling penting dalam konteks pengujian, baik formil, materil produk UU di MK,” kata Komisioner KontraS Dimas Bagus Arya kepada bakabar.com, Rabu (25/10).

Baca Juga: MKMK Dinilai Tak Bernyali Sanksi Berat Paman Gibran Rakabuming

Merujuk pernyataan sikap ICW, Netgrit, KontraS, P2P BRIN dan Pusako, sebelum memutus permohonan No. No.90/PUU-XXI/2023, MK menegaskan ketentuan batas usia capres dan cawapres merupakan open legal policy.

MK juga menyatakan bahwa UUD 1945 memberikan keleluasaan kepada pembentuk undang-undang menentukan syarat batas usia minimum dalam undang-undang yang mengaturnya.

Infografis Wajah Capres-cawapres 2024
Infografis: Wajah Capres-cawapres 2024 (bakabar.com/Ruli Irfanto)

Namun, anehnya pada hari yang sama MK mengubah pendiriannya. Hal ini terlihat dalam Perkara No.90/PUU-XXI/2023 yang menyebut, pemohon meminta syarat alternatif tambahan, yakni “pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pilkada”.

Baca Juga: PKS Tuding Gibran Gagal Lenyapkan Kemiskinan Warga Solo

“Dalam perkara ini, Makamah mempersoalkan kembali konsep open legal policy yang sebelumnya diterapkan pada Putusan No.29/PUU-XXI/2023. MK secara sporadis mengesampingkan open legal policy untuk menilai dalil yang sama dengan putusan tersebut, dengan alasan menghindari judicial avoidance,” tulis pernyataan sikap tersebut.

“Syarat administrasi atau syarat umur, mengutip beberapa putusan MK terdahulu itu terkait prasyarat usia dalam jabatan publik itu semuanya ditolak dengan pertimbangan bukan yuridiksi MK untuk memutus prasyarat administrasi namun merupakan kewajiban dan kewenangan pembuat UU, yakni DPR,” jelas Dimas.

Baca Juga: Gibran Rakabuming Akui Bakal Lanjutkan Legasi Jokowi

Sedangkan perkara No.90/PUU-XXI/2023, lanjut Dimas, justru melenceng dari asas open legal policy. Menurutnya, MK harus bisa menahan diri dengan tidak menerima putusan yang sifatnya bisa dibatasi atau dihindari oleh MK.

MK menyatakan bahwa Presiden dan DPR telah menyerahkan sepenuhnya penentuan batas usia dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu dengan mengutip fakta persidangan dalam Perkara No.29/PUU-XXI/2023, Perkara No. 50/PUU-XXI/2023 dan Perkara No.51/PUU-XXI/2023.

“Padahal, fakta persidangan tersebut sudah diabaikan MK ketika memutus ketiga perkara di atas,” kata Dimas.

Menurut Dimas, putusan MK bakal tercatat dalam sejarah sebagai salah satu putusan terburuk sepanjang keberadaan MK. Putusan ini juga disebut Dimas penuh dengan konflik kepentingan, yang sukar untuk dibantah.

Editor


Komentar
Banner
Banner