bakabar.com, JAKARTA - Pembangkit Cirebon Power Unit II 1x1.000 megawatt (MW) segera beroperasi secara komersial, pasca koordinasi yang dilakukan oleh manajemen Cirebon Power dengan Kementerian ESDM untuk pendaftaran rencana mitigasi emisi.
Hal itu terungkap saat kunjungan Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM M. Priharto Dwinugroho ke pembangkit Cirebon Power Unit II.
Dalam keterangan tertulis yang diterima bakabar.com di Jakarta, Jumat (17/2), Priharto mengatakan, "Artinya, pembangkit ini sudah memiliki rencana monitoring emisi."
Pembangkit tersebut termasuk dalam proyek strategis nasional ketenagalistrikan 35.000 MW yang akan memasok listrik melalui sistem jaringan Jawa-Madura-Bali.
Baca Juga: Pensiun Dini PLTU, Program Prioritas Pendanaan JETP
Nantinya, Menurut Priharto, pembangkit Cirebon Power Unit I menggunakan teknologi "super critical". Sedangkan pembangkit unit II menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan, yakni ultra super critical.
"Teknologi ultra super critical mampu meningkatkan efisiensi penggunaan batu bara sampai 40 persen sehingga emisi yang dihasilkan semakin rendah," terangnya.
Sementara itu, Ketua Tim Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI Bambang Hermanto mengatakan kunjungan kerja ke pembangkit Cirebon Power Unit II bertujuan untuk mengetahui dinamika di lapangan dan memastikan kesiapan dalam memasok listrik.
"Termasuk, ketersediaan batu bara yang harganya saat ini cukup tinggi di pasaran," ujarnya.
Baca Juga: Soal Akuisisi PLTU oleh PTBA, Menteri ESDM: Langkah Berani!
Bambang menambahkan, "Ternyata di Cirebon Power relatif tidak ada persoalan. Bahkan saat proyek, tidak ada kecelakaan kerja. Tenaga kerja saat pembangunan juga banyak tenaga lokal."
Senada, Wakil Direktur Utama Cirebon Power Joseph Pangalila mengaku optimistis pembangkit Cirebon Power Unit II bisa segera berkontribusi bagi pemenuhan kebutuhan listrik nasional. Progres pembangunan pembangkit berteknologi modern ultra super critical tersebut sudah memasuki tahap akhir.
"Sejak awal 2022 hingga awal 2023, kami sudah melalui tahapan-tahapan penting dalam proses pembangunan pembangkit unit II, seperti initial firing dan sinkronisasi unit. Di kuarter kedua tahun ini, kami optimistis bisa menyelesaikan tahapan penting selanjutnya termasuk performance test, ucap Joseph.
Dengan teknologi ultra super critical, kata dia, pembangkit Cirebon Power Unit II mampu meningkatkan efisiensi penggunaan batu bara sehingga emisi yang dihasilkan lebih rendah.
Baca Juga: Dilantik Jadi Dirjen Ketenagalistrikan, Jisman Pastikan Tarif Listrik Stabil
Sebagai contoh, Nitrogen oxide (Nox), sulphur dioxide (S02), dan total particulate (PM) di bawah standar yang sudah ditentukan pemerintah, sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 15 Tahun 2019.
Joseph juga mengapresiasi capaian positif dalam proses pembangunan pembangkit tersebut, yakni 44 juta jam kerja aman tanpa hilangnya waktu kerja akibat cedera. Total sekitar 6.000 tenaga kerja, termasuk warga lokal, terlibat dalam proses pembangunan pembangkit unit II itu.
Ia juga memastikan Cirebon Power telah melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan rutin sesuai dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) serta terlibat dalam pemberdayaan masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar kawasan pembangkit.
"Kami berkomitmen tidak hanya menghasilkan listrik tetapi juga konsisten dalam pelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Kami berharap bisa terus berkontribusi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat Cirebon," pungkas Joseph.
Baca Juga: Soal Nasib Subsidi Kendaraan Listrik, Ini Kata ESDM
Berbeda dengan Joseph, dalam siaran persnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dengan teknologi ultra super critical tidak menghilangkan emisi karbon dan emisi lain.
"Dalam hal ini, emisi karbon yang telah menjadi perhatian para ilmuan dan publik tetap besar dan hanya akan berkontribusi lebih pada perubahan iklim," ujar Dwi Sawung Manager Kampanye Energi dan Perkotaan WALHI, beberapa waktu lalu.
Hasil laporan Intergovernmental Panel on Climate Change 1.5 (IPCC) menyatakan dunia harus mengurangi penggunaan batu bara hingga 3% jika tidak ingin terjadi bencana krisis iklim.
Baca Juga: Tambang Batu Bara Marak, Jalan Longsor di Balangan Kian Parah
Saat ini emisi karbon sudah sangat tinggi, dengan teknologi USC atau apapun, yang ada emisi karbon batu bara tidak akan berkurang, pilihannya hanya menghentikan pembangunan PLTU batu bara dan melakukan penutupan secara bertahap pembangkit listrik tenaga batu bara yang sudah terlanjur beroperasi.
"Teknologi ultra super critical tidak ramah lingkungan, teknologi tersebut hanya untuk menghemat penggunaan batu bara tidak untuk mengurangi emisi karbon," jelas Sawung.