Kuliner Solo

Mengenal Kompia, Kuliner Solo ala Burger Jawa dari Tionghoa

Kompia jadi kuliner Solo yang unik. Usianya sudah 30 tahun, dan penjualnya tak banyak.

Featured-Image
Kompya burger Jawa dari Tionghoa (Apahabar.com/Arimbihp)

bakabar.com, SOLO - Kompia jadi kuliner Solo yang unik. Usianya sudah 30 tahun, dan penjualnya tak banyak.

Solo belum tidur, para penjual angkringan masih sibuk melayani pembeli, muda-mudi masih asik bersenda di bawah tenda, lampu-lampu pusat kota belum padam, deru mesin kuda besi masih terdengar kencang, pun juga dapur kecil milik laki-laki paruh baya itu masih mengepul.

Ketika yang lain mengakhiri hari dengan sekedar haha-hihi, laki-laki itu baru memulai hari dengan aroma bakaran wijen dan panasnya api di setiap sisi.

Dia tak sendirian, tiga rekannya juga baru datang, ke dapur yang berada di kampung padat penduduk, lengkap dengan handuk, kaos oblong dan kopi hitam di tangan.

Kompya burger Jawa dari Tionghoa (Apahabar.com/Arimbihp)
Kompya burger Jawa dari Tionghoa (Apahabar.com/Arimbihp)

Mereka menyebut laki-laki itu Haryono (52), seorang pembuat kompyang kue tradisional khas Solo yang sudah menggeluti profesinya lebih dari 30 tahun.

Baca Juga: Wedang Tahok, Kuliner Langka Khas Solo Berusia Setengah Abad

Kue tradisional khas Solo berwarna coklat muda, beraroma panggangan lengkap dengan taburan wijen itu sudah akrab bagi Haryono sejak usianya masih 5 tahun.

Sebab, ibu dan paman Haryono sebelumnya juga merupakan pembuat kompyang yang cukup dikenal di Kota Solo sejak tahun 1970 an.

Meski sudah terkenal, pembuatan kue kompyang milik Haryono tetap menggunakan peralatan tradisional sehingga cita rasanya tidak berubah.

Kepada bakabar.com, Jumat (28/7), Haryono mengatakan kue kompyang dibuat menggunakan tungku tanam yang dipanasi menggunakan kayu bakar, berbentuk lingkaran sebesar 4 meter dengan kedalaman 1,5 meter.

Bahkan, untuk mempertahankan rasanya yang otentik, oven yang digunakan tidak bisa sembarangan, ia harus memesannya sendiri ke salah satu pengrajin di daerah Pedan Klaten.

Tak hanya alat pembuatan, hingga saat ini, Haryono juga masih mempertahankan cara tradisional untuk membuat kompyang agar tidak mengubah ciri khasnya.

Menurut dia, cara pembuatan kompyang terbagi ke 4 babak, yakni nguleni (membuat adonan), ngetheng  (memipihkan adonan), mijeni (menaburkan biji wijen ke adonan), dan mengoven.

Baca Juga: TFP Kopi Warung, Western Food Unik di Tengah Klasiknya Pasar Gede Solo

Semua proses tersebut Haryono lakukan bersama ketiga rekannya secara manual dan memakan waktu kurang lebih satu jam untuk menyelesaikan satu adonan. Dia memulai proses produksi dari pukul 23.30 hingga 04.00 WIB. 

Pembuatan harus dilakukan di jam tersebut karena kompyang tergolong salah satu makanan yang disantap pagi hari, sehingga kenikmatannya akan berkurang apabila diproses pada siang hari.

Pertahankan Cita Rasa Lokal

Pun juga menyoal bahan yang digunakan, Haryono tidak menambahkan topping atau isian kekinian, tak juga memodifikasinya dengan rasa-rasa yang sedang populer di pasaran.

Sembari terus nguleni adonan, Haryono menceritakan, bahan yang digunakan untuk membuat kompyang hanya tepung terigu, gis, wijen dan air saja.

Bukan tanpa alasan,penambahan keju mozarella, greentea, atau rasa serupa itu bisa mengganggu proses pembuatan dan menghilangkan tekstur kompyang yang memiliki ciri keras dan sedikit renyah.

Dalam satu kali produksi, ia menghabiskan 75 kilogram (kg) tepung terigu dan beberapa bahan lain yang menggunakan ilmu kira-kira alias ditakar menggunakan perasaan.

Bagi Haryono, membuat kompyang memang memerlukan olah rasa atau kepekaan rasa, mulai dari bahan hingga suhu api yang digunakan untuk mengoven.

Baca Juga: Pertama di Solo, Pameran Kesehatan Mental Berbalut Seni di Lokananta

Jika tidak, alih-alih menciptakan masterpice kue, takaran yang salah atau api yang terlalu panas bisa membuat kompyang gosong atau alot.

Satu jam berlalu, kompyang karya Haryono pun sudah jadi, buah karyanya ia ambil dan disajikan ditaruh ke dalam keranjang anyaman bambu.

Berapa potong kompyang kemudian ia dibagikan kepada kami, para kuli tinta yang sedari tadi banyak bertanya sekaligus mengambil gambar proses pembuatan.

Sambil ikut menikmati kompyang buatannya sendiri, Haryono menceritakan, usahanya tetap berjalan dengan lancar meski lini kehidupan lain sempat terganggu akibat pandemi Covid-19 dua tahun terakhir.

Dapur kompyang yang menghidupinya itu justru agak terguncang seiring dengan kenaikan harga bahan baku yang merangkak naik sejak Maret 2022 ini.

Tak main-main, kenaikan harga bahan baku kompyang bahkan mencapai 100 persen,atau 2 kali lipat, dari Rp 140.000 per sak atau setara dengan 25kg, menjadi Rp 189.000 per sak.

Keadaan tersebut tak urung memaksa Haryono untuk ikut menaikkan harga penjualan kompyang, dari semula Rp 1.000 menjadi Rp 1.500 per bijinya.

Belum usai ayam berkokok, pukul 03.00, beberapa orang sudah datang silih berganti ke dapur Haryono untuk membeli kompyang buatannya.

Ada yang membeli puluhan biji untuk dijual kembali, ada pula yang membeli 3 biji untuk dinikmati sendiri saat sahur maupun kudapan pagi.

Cara menimati kompya juga berbagai macam, ada yang memiih menyantapnya langsung saat masih hangat, membelah tengahnya dan menambahkan isian pia-pia, dicampur santan agar menyerupai kolak, maupun menyelupkannya ke dalam teh.

Kata penikmatnya, semua cara terasa istimewa, terutama bagi yang suka.

Editor


Komentar
Banner
Banner