bakabar.com, JAKARTA - Perayaan Imlek tak cuma dimeriahkan sehari saja. Bagi keturunan Tionghoa, masih ada serangkaian tradisi terkait perayaan tahun baru yang juga disebut Sincia itu, yakni Cap Go Meh.
Cap Go Meh merupakan tradisi yang digelar 15 hari setelah Imlek. Ini sesuai dengan namanya yang diambil dari bahasa Hokkian: cap berarti sepuluh, go adalah lima, adapun meh bermakna malam.
Ayu dan Wardhani dalam Perjalanan Multikultural dalam Sepiring Ketupat Cap Go Meh (2012) menuliskan bahwa Cap Go Meh sudah ada sejak era Dinasti Han, tepatnya pada abad ke-2 M. Di negeri asalnya, tradisi ini diperingati untuk menghormati Dewa Thai Yi.
Mulanya, Cap Go Meh pun tidak dirayakan dengan semarak seperti sekarang. Tradisi tersebut hanya dilakukan oleh kalangan istana secara tertutup, bahkan masyarakat Tiongkok sendiri tak akrab dengan upacara penghormatan Sang Dewa ini.
Seiring berjalannya waktu, Cap Go Meh mulai dikenal luas oleh warga umum Tiongkok, bahkan sampai keturunannya di pelbagai negara. Di Indonesia sendiri, tradisi ini dikenal lewat akulturasi dari masyarakat Tionghoa peranakan.
Lambang Melepas Nasib Buruk
Cap Go Meh dirayakan dengan berbagai kemeriahan, salah satunya atraksi barongsai. Selain itu, terpasang pula lampion-lampion seperti sejarah mulanya di zaman Dinasti Han: para biksu diwajibkan membawa lentera untuk memulai ritual.
Lentera tersebut selanjutnya dilepaskan sebagai simbol menghilangkan nasib buruk sekaligus menyambut keberuntungan di masa depan. Lentera yang dinyalakan identik dengan harapan, agar pada masa yang akan datang bisa mendapat kehidupan asmara yang baik.
Selain melepas nasib buruk, Cap Go Meh juga dianggap sebagai hari kasih sayang pada masa lalu di Cina. Kala itu, perempuan yang belum menikah tak boleh ke luar rumah sendirian. Namun, saat perayaan ini, mereka bisa bersosialisasi secara bebas untuk mencari jodoh.
Cap Go Meh atau yang dikenal di China dengan Festival Yuan Xiao Festival, juga dirayakan di lingkungan keluarga dengan tradisi makan bersama. Makanan khasnya adalah Yuan Ziao (bahasa Mandarin) atau ronde, yaitu bola-bola yang terbuat dari beras ketan dan dimakan bersama kuah gula juga rempah-rempah.
Sementara di Indonesia, tradisi yang dimaknai sebagai ‘penutup’ Imlek ini biasanya dirayakan dengan makan ketupat Cap Go Meh. Layaknya kegiatan lain dalam Cap Go Meh yang penuh makna, kudapan tersebut juga demikian.
Harapan di Balik Sepiring Lontong
Lontong Cap Go Meh ibarat ketupat saat perayaan Idul Fitri di Indonesia. Makanan ini tak boleh absen dalam tradisi pasca-Imlek, sebab dianggap spesial sekaligus dipercaya dapat membawa keberuntungan.
Pembuatan lontong tersebut diperkirakan mengadopsi pembuatan bakcang. Di mana, terbuat dari nasi ketan yang diisi daging, jamur, ebi, telur, dan bumbu kacang, lantas dibungkus daun bambu atau kelapa.
Lontong kemudian disajikan dengan opor yang merupakan ‘modifikasi’ sup ayam khas Cina. Juga, dipadukan dengan makanan berbumbu rempah yang dimiliki masyarakat lokal Jawa.
Adapun bentuk lontong yang panjang dianggap melambangkan panjang umur. Sementara telur melambangkan keberuntungan, dan santan yang dibumbui kuah kunyit berwarna keemasan melambangkan keberuntungan.