magelang

Riwayat Klenteng Liong Hok Bio dan Jalan Sutra Masyarakat Tionghoa Magelang

Klenteng Liong Hok Bio di jantung kota Magelang selalu didatangi umat. Sebagian khusyuk berdoa, sebagian lainnya berwisata.

Featured-Image
Klenteng Liong Hok Bio (Apahabar.com/Arimbihp)

bakabar.com, MAGELANG - Klenteng Liong Hok Bio di jantung kota Magelang selalu didatangi umat. Sebagian khusyuk berdoa, sebagian lainnya berwisata.

Bangunan megah bernuansa merah itu berdiri kokoh di kota Magelang. Pegiat sejarah Kota Toewa Magelang (KTM) menuturkan, bangunan bernama kelenteng Liong Hok Bio tersebut didirikan pada 1864 oleh Kapitein Be Koen Wie atau Be Tjok Lok.

Menurut cerita Bagus, awalnya pada 1740, pemerintah Belanda melarang kedatangan para imigran dari Tiongkok untuk masuk ke wilayah jajahannya.

Imigran dari Tiongkok yang tidak memiliki izin kerja juga dideportasi ke Ceylon dan Semenanjung Harapan.

Kepada bakabar.com Agus menceritakan, larangan tersebut membuat umat Tiongkok kalang kabut. terutama mereka yang sering terkena pungli oleh pejabat Belanda. Untuk menghindari nasib semakin buruknya situasi, orang-orang Tionghoa yang tinggal di Batavia mengadakan pemberontakan.

Baca Juga: Ko Khoen Gwan, Tionghoa Pemasok Senjata untuk Pejuang RI di Magelang

Meski demikian, Belanda kala itu dapat menindas pemberontakan ini lantaran berperang menggunakan senjata api.

"Kasus tersebut membuat  ribu orang Tionghoa di Batavia dibunuh dan dianiaya," tuturnya.

Pelarian Tionghoa dari Batavia

Menurut Bagus Priyatna, warga Tionghoa kala itu beramai-ramai menyelamatkan diri. Banyak orang-orang Tionghoa lari dari Batavia ke berbagai kota di pesisir timur laut Jawa Tengah, seperti ke Semarang, Jepara dan Lasem di Rembang.

"Ada juga yang lari meminta perlindungan ke Kasunanan Surakarta. Tapi sayangnya tidak terlaksana," kata Bagus.

Dari sebagian warga Tionghoa yang menyelamatkan diri itu, lanjut Bagus, ada sekelompok rombongan kecil yang telah sampai di daerah Kedu Selatan dan bertempat tinggal di Desa Klangkong DJono.

Klangkong DJono berada di selatan Kutoarjo sekarang disebut dengan nama Desa DJono. Pada waktu itu, orang-orang Tionghoa masih taat kepada keyakinannya, terutama pemujaan terhadap Twa Pek Kong. Twa Pek Kong adalah Dewa Bumi yaitu Hok Tek Tjen Sin (Tho Tee Kung).

Maka sewaktu mereka mengungsi, tidak lupa Twa Pek Kong tersebut dibawa juga ke Desa Klangkang DJono.

Baca Juga: Hotel Montagne, Saksi Sejarah Perjuangan Pemuda Magelang

"Kehidupan masyarakat Tionghoa kala itu berangsur stabil dan menjadikan desa tersebut tenteram," kata Bagus.

Masyarakat bekerja dengan berbagai mata pencaharian, seperti membuat terasi, menenun kain dan perdagangan kecil lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Perang Diponegoro Berdampak Buruk

Hingga pada saat terjadinya perang Diponegoro pada tahun 1825 menjalar sampai ke wilayah Kedu Selatan. Perang tersebut membawa dampak buruk terhadap keberadaan masyarakat Tionghoa yang tinggal di Desa Djono tersebut.

Akibatnya, terjadi perampokan besar-besaran di Desa Djono yang disebabkan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab.

Melihat hal ini, pemimpin masyarakat Tionghoa di Desa Klangkang Djono yang bernama The Ing Sing dan bergelar Bu Han Lim dari Tiongkok melakukan perlawanan.

Meski pada awalnya sanggup bertahan terhadap upaya para pembuat keonaran tersebut, tapi lambat laun keberadaan mereka semakin terdesak.

"Hal tersebut tak urung memaksa mereka untuk meninggalkan Desa Djono menuju arah timur laut," tutur Bagus.

Baca Juga: Johannes Van Der Steur, Pejuang Kemanusiaan Masa Penjajahan Magelang

Bagus menceritakan, rombongan ini berusaha menembus benteng pegunungan Menoreh Salaman Magelang yang saat itu masih berwujud hutan belantara.

Setelah berhasil melewati perbukitan yang terjal, sampailah rombongan ini di Magelang dan tinggal menetap.

Namun demikian, sebagian rombongan memilih melanjutkan perjalanan menuju Parakan di Temanggung.

Rombongan yang menetap di Magelang, lalu memilih tinggal di Ngarakan (sebelah barat Pecinan, sekarang sekitar Rumah Makan Pancoran Jl. Daha).

Kemudian, lanjut Bagus, setelah perang Diponegoro selesai pada 1830 seorang Tionghoa bernama Be Koen Wie atau Be Tjok Lok berpindah dari Solo ke Magelang.

Be Tjok Lok berjasa pada saat perang tersebut dan diangkat menjadi luitenant atau letnan oleh Belanda.

Tak hanya mendapat jabatan, Luitenant Be Tjok Lok dijadikan pachter candu dan rumah gadai atau pandhuis sehingga menjadi seorang hartawan besar dan kaya raya.

Nama Be Tjok Lok semakin tenar saat diangkat menjadi kapten lantaran berkaul untuk tanah miliknya yang terletak di sisi utara untuk didirikan menjadi kelenteng sebagai tempat ibadah bagi masyarakat Tionghoa di Magelang.

Untuk diketahui, tanah milik  Be Tjok Lok berada di sisi utara dekat dengan Aloon-aloon.

"Setelah kelenteng tersebut berdiri maka diberi nama Liong Hok Bio," kata Bagus.

 Dalam perkembangan zaman, dan semakin banyaknya jumlah masyarakat Tionghoa yang beribadah di kelenteng ini, maka para umat melakukan pengumpulan dana untuk membeli petak tanah di sekitar kelenteng.

Setelah terkumpul, di belilah tiga petak rumah dengan Persil Eigendom, yang terletak di jalan Pemuda Selatan yaitu no 53/55, 57 dan 59.

Namun, perjalanan tak selamanya mulus, pada 1904, pemerintah Belanda melarang perayaan di kelenteng itu karena seringnya terjadi kecelakaan pada waktu rebutan perayaan.

Klenteng Liong Hok Bio juga sempat mengalami perubahan akibat terbakar pada 2014.

"Lalu dibuat bangunan baru hingga kini, Klenteng Liong Hok Bio berdiri megah," pungkasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner