Hotel Montagne

Hotel Montagne, Saksi Sejarah Perjuangan Pemuda Magelang

Hotel Montagne, bangunan legendaris yang menjadi saksi sejarah perjalanan panjang kehidupan masyarakat Magelang.

Featured-Image
Hotel Montagne Magelang, bagian dari sejarah Magelang. (KITLV Leiden)

bakabar.com, MAGELANG - Hotel Montagne, bangunan legendaris yang menjadi saksi sejarah perjalanan panjang kehidupan masyarakat Magelang.

Bangunan bersejarah di sepanjang Jalan Ahmad Yani, Kota Magelang masih berdiri kokoh meski beberapa usianya sudah lebih dari satu abad.

Beberapa arsitektur bangunan bergaya Belanda bahkan tidak berubah, hanya warnanya saja yang diperbaharui sehingga terlihat lebih cerah.

Namun, dari sisi fungsi, sebagian besar sudah mengalami perubahan, karena pemindahan kepemiliikan maupun pemanfaatan lahan.

Salah satu bangunan legendaris yang memiliki cerita sejarah dan saksi perjalanan panjang kehidupan masyarakat Magelang adalah Hotel Montagne.

Hotel bergengsi bagi kaum Belanda.yang diresmikan Tuan Swanck pada 21 April 1921 tersebut kini digunakan sebagai Kantor Mako 2 Kepolisian Resor Magelang Kota.

Baca Juga: Kisah Pergundikan dan Nasib Anak-Anak Kolong di Magelang

"Pelayanan yang ekslusif membuat Hotel Montagne dijuluki Reputatie dan sering digunakan untuk menginap para pejabat," kata pegiat sejarah, Gusta, Kamis (20/7).

Menurut Gusta, Hotel Montagne juga selalu menjamu tamu dengan makanan yang lezat serta menyediakan kamar khusus dan air hangat.

Gusta menceritakan, Hotel Montagne bahkan juga pernah dikunjungi Aloha Wonderwell Voor, seorang penjelajah perempuan sekaligus penerbang dari Kanada.

"Montagne memiliki signature dish  atau makanan ala Prancis yang memanjakan lidah para tamu," imbuhnya.

Namun, pada saat perang Asia Timur Raya 1942 Jepang yang kala itu mulai masuk ke Magelang langsung mengambil alih pengelolaan Hotel Montagne.

"Saat Jepang masuk ke Magelang, semua aset milik Belanda diakui sisi, termasuk Hotel Montagne, bahkan namanya menjadi Nitaka," ujar Gusta.

Baca Juga: Mengintip Tradisi Jamasan Pusaka 1 Sura di Menoreh Magelang

Para pemilik aset sebelumnya, (Belanda) kemudian ditahan atau diinternir di kamp – kamp konsentrasi oleh Jepang yang sedang menduduki Magelang.

Gusta menceritakan, situasi di Magelang justru memanas setelah bom atom di Hiroshima dan Nagasaki meletus pada Agustus 1945 yang diikuti proklamasi kemerdekaan di Jakarta oleh Soekarno – Hatta.

Suasana memanas dipicu adanya penempelan Plakat Bendera Merah Putih di seluruh kota sebagai wujud dukungan terhadap pemerintah republik yang dilakukan para pemuda Magelang kala itu.

"23 September 1945 malam mereka menempel plakat merah putih, mulai Kelurahan Kramat hingga Kelurahan Tidar termasuk di depan Hotel Nitaka," tutur Gusta.

Baca Juga: Kali Manggis, Sungai Buatan Belanda di Magelang Berusia Hampir Seabad

Namun, lanjut dia, sekitar jam 11.00, seorang pemuda Indonesia melihat seorang prajurit Jepang menyobeki plakat merah putih yang ditempel pada dinding depan Hotel Nitaka.

Hal tersebut lantas menyulut amarah para pemuda yang lain lain karena mereka merasa terinjak-injak rasa kebangsaannya.

"Kejadian tersebut memicu perang mulut antara para pemuda dan prajurit Jepang. Para pemuda menuntut agar prajurit Jepang yang menyobek bendera dihukum dan bendera Jepang digantikan bendera Indonesia," kata Gusta.

Meski awalnya Jepang enggan, namun, melalui perundingan yang alot, keadaan akhirnya kembali normal seperti semula walaupun situasi tak sepenuhnya membaik.

Padahal sebenarnya, disaat yang bersamaan, Hotel Nitaka sedang digunakan anggota – anggota komite administrasi bantuan rehabilitasi tawanan perang dan interniran dari pihak sekutu atau Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) untuk menginap.

Saat masih difungsikan sebagai penginapan, Hotel Montagne pernah mengalami beberapa kali renovasi  sejak diresmikan hingga 1936.

"Kemudian, seiring berjalannya waktu akhirnya diberikan pada pemerintah dan dijadikan MAKO 2," pungkasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner