bakabar.com, BANJARMASIN – Tim Densus 88 bergerak senyap menangkap seorang pemuda berinisial NR (22) di Kuin, Banjarmasin.
Penangkapan NR mengungkap fakta jika rekrutmen Jemaah Ansharut Daulah (JAD) yang menjadi sel teroris paling aktif saat ini tak lagi menyasar kelompok berpendidikan rendah.
Lantas, bagaimana paham JAD bisa berkembang hingga provinsi Kalsel dan bahkan Kalteng?
bakabar.com menghubungi Peneliti Terorisme, Al-Chaidar untuk menemukan jawabannya.
"Penangkapan di Banjarmasin membuktikan jika sel Jamaah Ansharut Daulah tidak pernah mati," ujar Dosen Antropologi, Universitas Malikusssaleh, Aceh ini.
Chaidar kemudian menunjukkan peta migrasi kelompok JAD berawal pada 1998 ketika sejumlah kombatan menyeberang dari Malaysia menuju Jawa, Maluku, Sumatera hingga Nusa Tenggara Barat.
Malaysia yang hanya berbatasan laut dengan Nunukan di Kalimantan Utara tepatnya Sabah menjadi rute pilihan para militan Indonesia memasuki Filipina Selatan yang kerap dijadikan kamp pelatihan militer para kombatan ISIS.
Dua tahun berselang, lanjut Chaidar, pola migrasi JAD berkembang ke Maluku kemudian Poso hingga Papua. Baru 10 tahun kemudian sel-sel jaringan JAD mulai tumbuh di Aceh hingga Kalimantan Timur, Sumut, Sumbar dan Banteng.
Nah, dari Kaltim inilah kemungkinan besar paham JAD berkembang hingga Kalimantan Selatan. Medio November 2016 silam Densus 88 pernah menangkap seorang tokoh JAD bernama Juhanda alias JO. Ia adalah pelempar bom molotov ke Gereja Oikumene di Samarinda.
“Biasanya mereka berkembang melalui daerah-daerah sekitarnya seperti Balikpapan dan Pontianak,” ujarnya.
Tak hanya Kaltim, Al-Chaidar juga menyebut kemungkinan rute lain kelompok JAD masuk ke Kalsel.
“Kalsel dan Kalteng adalah daerah baru yang merupakan wilayah persebaran dari JAD, dan ini masuknya melalui daerah-daerah sekitarnya atau dari Jawa dan Sumatera,” ujar aktivis Darul Islam ini.
Jamaah Ansharut Daulah bukanlah sel teroris yang telah tidur sekalipun pemerintah telah melarangnya pada 2018, dan Aman Abdurahman telah divonis mati.
“Sel teroris JAD terus aktif sejak 2014 dan mereka berafiliasi kepada ISIS,” jelasnya.
Dengan bertambahnya Kalsel dan Kalteng, Chaidar mengatakan total jaringan JAD kini sudah berkembang di 20 provinsi Indonesia.
“Sebelumnya hanya 18, jumlah ini merupakan persebaran aktif yang menunjukkan bahwa sel JAD adalah sel yang tidak pernah mati,” ujarnya.
JAD didirikan oleh Aman Abdurahman di Nusakambangan, 2014 silam. JAD terkenal setelah rentetan teror bom di Surabaya. Kemudian penusukan Menteri Polhukam Wiranto, Oktober 2019. Dan pengeboman Makassar pada 2021.
Sebelumnya mereka juga bertanggung jawab atas tragedi bom bunuh diri di Sarinah, MH Thamrin, Jakarta Pusat, Januari 2016.
“JAD sekarang dipimpin Daniel,” ujar Chaidar.
Sampai hari ini Mabes Polri masih mengejar Daniel alias Chaniago mastermind JAD atau dalang di balik pengeboman di Gereja Katedral Makassar.
JAD telah menyatakan diri berbaiat dengan ISIS.Jika Jemaah Islamiah (JI) menargetkan orang asing, JAD lebih menyasar sipil dan polisi. Perbedaan lainnya, rekrutmen JAD lebih longgar ketimbang JI.
Chaidar bilang pola kaderisasi JAD memang terbilang longgar. Siapa saja bisa jadi JAD asal mau Jihad.
Beda dengan JI yang lebih ketat. Ketika salah satu pimpinannya tertangkap, maka sel organisasi JI dihapuskan. Anggota yang ditangkap polisi, ujarnya, tak bisa kembali ke JI.
“Kalau JAD langsung main rekrut saja,” ujarnya.
Tak hanya pola penyebaran, penangkapan NR juga membuktikan jika desain rekrutmen JAD telah berkembang seiring perkembangan zaman.
Kini, JAD tak lagi hanya menyasar mereka dengan latar pendidikan rendah. NR sendiri merupakan mahasiswa semester akhir fakultas hukum sebuah perguruan tinggi lokal di Kalsel. Ia memiliki segudang prestasi. Bahkan dua kali menyabet medali emas dalam kejuaraan silat di Portugal dan Belanda.
“Masuknya mahasiswa fakultas hukum ke dalam JAD itu sudah sering terjadi di mana banyak mahasiswa yang kemudian direkrut karena terpengaruh oleh propaganda dari kelompok JAD dengan memberikan iming-iming tentang ISIS yang sudah dimanipulasi,” ujarnya.
Badan Intelijen Negara (BIN) menyebut JAD merupakan sel teroris terputus. Yang mengandalkan media sosial dalam berkomunikasi.
Manuver rekrutmen JAD dilakukan berbasis daring. Rekrutmen daring ini memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi dan lebih mudah dilakukan karena minim interaksi secara langsung guna menghindari penggerebekan yang dilakukan aparat kepolisian.
Sasaran empuk dari petinggi JAD saat ini adalah rekrutmen anak-anak muda berusia 17-24 tahun. Sederet hal itulah yang membuat BIN kuatir JAD mampu menggaet lebih banyak anggota.
Lantas, bagaimana semestinya Polri meredam sel-sel JAD yang nyatanya sudah menyebar hingga ke Kalsel dan Kalteng?
“Tugas kepolisian adalah untuk melakukan penegakan hukum artinya menangkap seluruh anggota JAD. Tugas ini sudah dilakukan secara baik melalui Densus 88,” ujarnya.
Chaidar meminta orang tua beserta keluarga lebih proaktif memantau aktivitas anak mereka.
Meski serangan-serangannya kecil, namun JAD disebut lebih radikal ketimbang Jemaah Islamiah (JI).
Peneliti terorisme dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi bilang teror JAD tak bisa dipandang enteng.
Kelompok JAD terbilang pandai berkamuflase. Apalagi menghindari pengawasan aparat polisi.
“Mereka berperilaku sesuai dengan lingkungan sekitar,” ujarnya dilansir Tirto.
Secara penampilan dan pola interaksi sosial kelompok JAD susah dibedakan dengan masyarakat pada umumnya. Sebisa mungkin mereka berperilaku berkebalikan dengan kelompok radikal.
“Tidak ada gelagat yang mengundang kecurigaan ketika, misal, berada di TKP atau lokasi-lokasi yang menjadi sasaran atau lokasi berikutnya,” ujarnya.
Mantan anggota Polri yang pernah menjadi narapidana teroris, Sofyan Tsauri, menilai JAD jelas kalah besar dengan JI.
Namun bukan berarti dampak serangan JAD bisa ditangani dengan mudah. Meski serangan-serangannya kecil, JAD tidak ragu untuk melakukan serangan fisik.
Serangan bom, menurut Sofyan, hanyalah alternatif karena serangan fisik sudah mudah ditangkal oleh polisi.
"Enggak ada bom, dia pakai pistol, pistol enggak ada dia pakai racun, racun enggak ada dia pakai garpu, garpu enggak bisa dia pakai belati. Ini makanya apa saja bisa, pakai panah, bakar-bakaran juga mereka bisa, apa saja mereka gunakan," jelasnya dilansir dari kanal yang sama.
NR sebelumnya ditangkap di tempat kerjanya di Bati-Bati, Kabupaten Tanah Laut, Rabu (22/12) pagi. Polisi mengonfirmasi jika NR terhubung dengan kelompok JAD dalam sebuah grup media sosial.
Selesai menangkap NR, polisi kemudian menggeledah rumahnya di kawasan Kuin Selatan, Banjarmasin Barat. Sejam melakukan penggeledahan, polisi mengamankan sejumlah barang di antaranya baju, tas, buku, berkas, panah, hingga senjata tajam jenis parang.
"NR merencanakan pelatihan idad [fisik] di tempatnya saudara Ade di daerah Sampit Kalteng," ujar Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan.
Ade diamankan Densus 88 sebelum penangkapan NR. NR diduga kuat ikut berperan merancang rekrutmen calon anggota JAD.
Tak cuma idad, NR juga terindikasi terlibat rencana pembelian senjata. NR tak sendiri saat diamankan Densus di Kalsel. Di hari yang sama, Densus juga menangkap SU.
NR ditangkap pukul 07.57. Sementara SU pukul 09.15. SU dianggap berperan dalam pengadaan kajian-kajian secara daring melalui Zoom Meeting.
SU juga menggunakan media sosial untuk menyebarkan video-video pelatihan fisik, pelatihan militer, hingga pelatihan menembak.
"Untuk menarik orang bergabung dengan JAD," ujar Ramadhan.
Tak hanya itu, SU juga membuat program naik gunung untuk menarik kelompok-kelompoknya bergabung di jaringan JAD yang baru.
"Itu peran SU," jelas Ramadhan. Lebih jauh Ramadhan tak memerincikan. Termasuk detail lokasi penangkapan keduanya. Mengenai detail itu Kabag Banops Densus 88 Kombes Pol Aswin Siregar juga tak menjelaskan.
"Semuanya sudah dijelaskan oleh humas Mabes/Polda yaa," ujarnya dihubungi terpisah.
Hingga kini, baik Mabes Polri maupun Densus 88 belum menyampaikan apa status keduanya. Densus punya waktu 21 hari untuk menentukan status mereka.
Namun begitu, Kapolda Kalsel Rikwanto mengatakan penangkapan oleh Densus 88 di Banjarmasin merupakan upaya pencegahan dari potensi aksi teror saat momen natal dan tahun baru.
“Mencegah lebih baik daripada menunggu kejadian. Jadi yang dilakukan saat ini adalah upaya preventif pencegahan,” kata Rikwanto di Banjarbaru.
Menurut Rikwanto, potensi aksi terorisme selalu ada. Sehingga semua pihak tidak boleh lengah. Apalagi sampai menganggap remeh.
“Kita tidak boleh underestimate. Aman memang aman, tapi kita tetap harus melihat apakah ada potensi terorisme untuk mengganggu event-event tertentu seperti Natal dan tahun baru,” tuturnya.