bakabar.com, KOTABARU – Sebuah papan nama Khilafatul Muslimin di Kabupaten Tapin dibongkar paksa warga setelah ribut-ribut penangkapan Abdul Qadir Hasan Baraja. Didapati fakta jika paham ini mulanya berkembang dari Bumi Saijaan. Bagaimana eksistensi mereka di Kotabaru?
Kementerian Agama memandang Khilafatul Muslimin sebagai sebuah gerakan keagamaan yang gigih mempropagandakan dan mengampanyekan sistem khilafah. Mereka dianggap bertentangan dengan konsep negara Pancasila.
Setahun lamanya berdiri, sebuah papan nama bertuliskan ‘Sekretariat Khilafatul Muslimin’ di Tapin dibongkar paksa warga, Jumat 10 Juni 2022.
Pembongkaran buntut penangkapan sejumlah petinggi pengurus kelompok Khilafatul Muslimin, termasuk pimpinannya yang bernama Abdul Qadir Hasan Baraja. Di Tapin, sehari-seharinya sekretariat Khilafatul Muslimin digunakan AJ dan keluarganya untuk menggelar pengajian.
Warga sekitar menganggap keberadaan kelompok ini sudah cukup meresahkan. Banyak dari mereka kemudian mempertanyakan latar dan cita-cita organisasi tersebut.
Adu argumen pembongkaran papan sempat berlangsung panas. Singkatnya, melihat jumlah warga yang berdatangan makin banyak, AJ akhirnya merelakan pencabutan pelang tersebut.
Plt Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Tapin, Raniansyah memastikan organisasi Khilafatul Muslimin tidak terdaftar. “Memang perlu diketahui bahwa keberadaan organisasi Khilafatul Muslimin di Tapin ini, merupakan salah satu cabang setelah keberadaannya di Kotabaru,” katanya.
“Jadi, mereka ini juga [diduga] antipemerintahan. Salah satu contohnya, tidak mau menggunakan hak suaranya saat pemilu. Mulai Pilkades, hingga Pilpres,”
Lantas bagaimana, dan sejak kapan Khilafatul Muslimin ini ada di Kotabaru? Penelusuran bakabar.com, kelompok ini ternyata sudah lama eksis di Bumi Saijaan.
Keberadaan kelompok Khilafatul Muslimin terendus pertama kali di Desa Sekapung, Pulau Sebuku, 2009 silam. Belakangan diketahui kelompok ini dipimpin oleh seorang warga Sekapung berinisial AL.
Serupa di Tapin, mereka juga memiliki sekretariat. Perekrutan anggotanya menggunakan pendekatan kesukuan, dan kekeluargaan. Seiring berjalannya waktu, pada 2016 keberadaan Khilafatul Muslimin mulai diketahui. Bahkan diyakini sudah beranggotakan sebanyak 180 orang.
Sejumlah pendekatan berbasis dialog pun dilakukan MUI, Kesbangpol dan unsur pemerintahan Kotabaru guna mencegah gesekan antarwarga sekaligus memelajari latar belakang organisasi ini.
Hasilnya, sejumlah anggota Khilafatul Muslimin disebut gelagapan menjawab sederet pertanyaan MUI. Kendati begitu menariknya pemberitaan yang muncul justru sebaliknya. Khilafatul Muslimin Kotabaru-lah yang berhasil membuat tak berkutik MUI dalam adu argumen mengenai dasar organisasi.
“Jadi, faktanya justru di balik di media mereka. Padahal, mereka yang tidak bisa menjawab waktu itu,” terang Kepala Kesbangpol Kotabaru, Adi Sutomo dihubungi bakabar.com, Selasa (21/6).
Dialog membedah isi kekhilafahan atau seputar bentuk kepemimpinan menggunakan hukum syariat Islam sebagai dasar. Serta tujuan didirikannya Khilafatul Muslimin di Kotabaru.
Dalam dialog, sejumlah kader Khilafatul Muslimin Kotabaru menyatakan wajib memiliki pemimpin sendiri, dan sistem pemerintahan sendiri di Indonesia. Hal inilah yang dinilai Adi bertentangan dengan Pancasila.
Dari sana, Kesbangpol kemudian mulai menggandeng TNI-Polri. Ruang gerak kelompok ini mulai dibatasi sampai akhirnya terlihat vakum. Kendati begitu, menginjak tahun 2020, diam-diam cabang Khilafatul Muslimin di Kotabaru kembali bergerak merekrut anggota ke beberapa kecamatan.
“Tapi, pergerakan mereka itu terus mendapatkan pengawasan dari tim. Perekrutan anggota sudah tidak ada. Sejauh ini kegiatannya bisa dikatakan terselubung lah,” klaimnya.
Berdasar hasil rapat dan diskusi tim pengawas aliran kepercayaan dan keagamaan (pakem) Kotabaru, singkatnya Khilafatul Muslimin disimpulkan sebagai sebuah gerakan bukan aliran kepercayaan atau keagamaan.
Alih-alih gerakan keagamaan, Sutomo lebih melihat Khilafatul Muslimin sebagai kelompok politik yang bercita-cita mendirikan negara di dalam sebuah negara. Atau kasarnya kelompok ini dikatakan lebih memilih tunduk dengan bendera bertuliskan tauhid. Ketimbang merah putih.
“Jadi, mereka ini juga [diduga] antipemerintahan. Salah satu contohnya, mereka tidak mau menggunakan hak suaranya saat pemilu. Mulai Pilkades, hingga Pilpres,” pungkasnya.
Lantas bagaimana respons kepolisian? Polisi rupanya tidak tinggal diam.
Klaim Kapolres Kotabaru AKBP M Gafur Siregar, sejumlah antisipasi berkembangnya paham Khilafatul Muslimin sudah dilakukan. Salah satunya dengan menggandeng pihak TNI, pemerintah daerah, tokoh agama, dan masyarakat.
Gafur mengatakan pembinaan serta pencerahan terus menerus intens dilakukan sampai akhirnya membuahkan hasil. Pihak Khilafatul Muslimin, kata Gafur yang menjabat sebagai kapolres sejak Agustus 2021, sudah menyatakan tidak memaksakan ajarannya. Papan nama sekretariat sebagai simbol eksistensi telah diturunkan secara sukarela.
“Alhamdulillah, di Kotabaru mereka sudah lama menyatakan setia terhadap NKRI, dan Pancasila,” ujar Gafur, Selasa (21/6) malam.