bakabar.com, BANJARMASIN - Hukuman berupa uang pengganti Rp110 miliar yang dijatuhkan kepada Mardani H Maming (MHM), diputus tidak bulat oleh majelis hakim.
Dua dari lima hakim yang mengadili Mardani, yakni Ahmad Gawi dan Arif Winarno, berpendapat bahwa hukuman uang pengganti tidak semestinya dijatuhkan.
Dissenting opinion (perbedaan pendapat) ini muncul, karena Gawi dan Arif berpendapat bahwa tak ditemukan kerugian negara yang ditimbulkan dalam perkara mantan Bupati Tanah Bumbu itu.
Diketahui majelis hakim yang diketuai Heru Kuntjoro memvonis Mardani telah menerima gratifikasi berupa suap dari almarhum Henry Soetio, karena telah menerbitkan SK IUP OP pertembangan.
Mardani dijerat Pasal 12 huruf b jo 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ahmad Gawi dan Arif Winarno dalam putusannya berpendapat, apabila pasal yang diterapkan adalah 12 huruf b terkait gratifikasi berupa penerimaan suap oleh penyelenggara negara, berarti menjatuhkan hukuman uang pengganti merupakan kekeliruan.
Sebab pemberian hukuman uang pengganti hanya dapat dilakukan apabila terjadi kerugian negara. Artinya pasal yang diterapkan semestinya Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Uang pengganti hanya diperkenankan kepada terdakwa, apabila terbukti terjadi kerugian negara, sesuai Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi," papar Arif Winarno ketika membacakan pertimbangan dalam amar putusan.
Dalam pertimbangan mereka, Gawi dan Arif memasukkan pendapat pakar hukum Indriyanto Seno Adji dalam artikel di laman investasi.id berjudul 'Membayar Uang Pengganti, Terjadi Kekeliruan Besar'.
Dalam artikel dinyatakan bahwa delik-delik suap jelas tidak berkaitan dengan uang pengganti.
"Sehingga dengan adanya beban pembayaran uang pengganti, justru menandakan terdakwa tidak menerima suap, tetapi melakukan korupsi. Demikian pula pendapat ahli pidana DR Khairul Huda SH MH," tegas Arif.
Sementara tiga hakim lain, yakni Heru Kuntjoro, Jamser Simanjuntak dan Aris Bawono Langgeng, berpendapat hukuman uang pengganti dijatuhkan kepada Mardani mempertimbangkan Pasal 17 Undang-Undang Korupsi.
Dalam pasal itu menyebutkan selain dapat dijatuhkan hukum pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 5 sampai dengan pasal 11, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18.
Pertimbangan lain adalah Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2014 yang menyatakan uang pengganti dapat dijatuhkan untuk seluruh tindak pidana.
Masih mengacu Perma Nomor 5, penjatuhan hukuman uang pengganti dapat dijatuhkan selama harta benda hasil korupsi tidak dinikmati oleh terdakwa dan telah dialihkan kepada pihak lain.
Perbedaan pendapat dari majelis hakim itu pun turut menyorot perhatian Anang Rosadi Adenansi. Ketua DPW Gerakan Jalan Lurus (GJL) Kalimantan Selatan ini menyebut perbedaan pendapat itu memperjelas bagian maladministratif.
"Maladministratif adalah putusan yang tak berkesesuaian dengan pejabat ketika menggunakan IUP sebagai objek. IUP adalah izin usaha pertambangan dengan tambang sebagai objek," papar Anang.
"Pelepasan IUP itu tidak dengan merampas, merampok atau menzalimi orang lain., tetapi hanya business to business," sambung mantan anggota DPRD Kalimantan Selatan itu.
Berkaca dari pendapat itu, Anang menilai sangat wajar apabila Mardani merasa telah difitnah dalam perkara tersebut.
"Oleh karena perkara berkaitan dengan peralihan IUP tambang, tetapi kemudian dibebankan uang pengganti Rp118 miliar, lantas dimana rasionalitas korupsi itu? Ini hanya business to business, lalu negara ikut masuk," tegas Anang.
Melihat duduk perkara dengan tuntutan jaksa KPK dan putusan majelis hakim yang ditimpakan kepada Mardani, Anang juga menilai terlampau berat. Tak mengherankan kalau independensi jaksa KPK dan majelis hakim patut dipertanyakan.
"Jadi ini memang kasus menarik dan perlu diperhatikan berbagai pihak agar tidak salah menghukum orang yang benar," tukas Anang.
Anang juga menyoroti soal pembelaan Madani yang kesemuanya dikesampingkan oleh majelis hakim. Sementara dalam fakta-fakta persidangan, ditemukan beberapa kejanggalan.
Di antaranya soal keterangan saksi yang hanya mendengar dari perkataan orang lain, hingga kejanggalan catatan kaki SK pengalihan IUP dijadikan barang bukti oleh jaksa KPK.
"Terlihat majelis hakim tidak cermat dalam mengambil keputusan, sehingga putusan Mardani memang terlihat dipaksakan. Ini bukan orang yang tertangkap tangan, tetapi peralihan IUP," lanjutnya.
Anang juga mengkritik KPK yang asal-asalan ingin menghukum orang, karena memberikan tuntutan terlampau tinggi, "Semestinya KPK jangan menunjukkan arogansi dan seolah-olah sebagai institusi yang tak bisa diintervensi oleh pihak lain," ketus Anang.
"Dalam perkara Mardani, sangat jelas terlihat sesuatu di balik persoalan ini dan dicampuri invisible hand atau tangan yang tidak terlihat. Makanya saya menginginkan Mardani harus mengambil langkah banding, karena terdapat ketidakadilan dalam putusan itu," pungkasnya.