Penjahit Jalanan

Masuk Tahun Ajaran Baru, Cuan Menyapa Para Penjahit Jalanan di Ibu Kota

Suara bising kereta bersahutan di bawah fly over Jatinegara yang lembab.

Featured-Image
Bagas, penjahit di bawah fly over Jatinegara. apahaabr.com/Andrey

bakabar.com, JAKARTA - Suara bising kereta bersahutan di bawah fly over Jatinegara yang lembab. Di tempat itu, tak jauh dari Stasiun Jatinegara berjejer tukang jahit jalanan.

Menurut pengakuan warga, sebagian dari tukang jahit itu sudah menetap di sana sejak tahun 1980an. Sejak itu hingga sekarang (era milenial), keberadaan mereka tetap eksis, meskipun tidak sebanyak dahulu.

Salah satunya adalah Bagas (59). Sejak tahun 1985 ia sudah menjadi penjahit di bawah fly over Jatinegara. Di depan mesin jahit tua merk Butterfly, ia selalu sibuk memvermak pakaian dan celana.

"Dulu disini penjahitnya ada puluhan. Ada yang sudah tidak menjahit lagi, ada yang sudah meninggal. Sekarang paling banyak sepuluh," ujarnya saat ditemui bakabar.com, Kamis (13/7).

Baca Juga: Jelang Tahun Ajaran Baru, Simak Tips Siapkan Mental Anak ke Sekolah

Menurutnya, darah penjahit sudah mengalir di dalam dirinya. Itu sebabnya ia tak ingin beralih profesi. Ia sudah  nyaman dengan kegiatan jahit menjahit di wilayah tersebut, meskipun suasana bising karena lalu lalang kereta dan kendaraan bermotor.

Bagas meyakini, tempat itu memberikan berkah baginya. "Sejak awal saya disini, nggak pindah-pindah, karena rezekinya disini. Dari sini bisa nafkahin keluarga saya, udah nyaman," tegasnya.

Setiap hari, pria yang tinggal di Matraman, Jakarta Timur itu, menerima jasa menjahit sejak pukul 7 pagi. Biaya yang dipatok untuk para pelanggan menurutnya sangat terjangkau. Cukup merogoh kocek Rp10 ribu untuk memotong celana dan Rp30 ribu untuk memvermak celana jeans atau pakaian.

Sementara itu, di momen masuk sekolah seperti sekarang, Bagas bersyukur  karena pendapatannya meningkat. Jika di hari biasa, ia lebih banyak berkutat dengan vermak pakaian, maka di tahun tahun ajaran baru, banyak yang memintanya menjahit seragam sekolah.

Baca Juga: Jembatan Terputus, Siswa Sumberlangsep Terancam Tak Bisa Sekolah

Dari pendapatan sehari-hari yang biasanya hanya Rp200 ribu, di musim masuk sekolah untuk 1 setel seragam sekolah, Bagas biasa mematok harga Rp90 ribu. Dengan begitu, ia bisa mendapatkan upah dua kali lipat dibanding hari biasa.

"Alhamdulillah kalau pas musim masuk sekolah, banyak yang mesan jahitan. Apalagi udah nggak COVID, sama pas lebaran juga banyak," paparnya.

Di tempat terpisah, momen tahun ajaran baru juga disyukuri oleh penjahit jalanan yang berlokasi di Manggarai, Jakarta Selatan. Candra (45), penjahit jalanan mengakui adanya peningkatan pendapatan.

Harga yang ia patok untuk menjahit 1 setel pakaian sekolah juga sebesar Rp90 ribu. Rata-rata yang menggunakan jasanya adalah orang tua siswa sekolah swasta di kawasan Manggarai. 

Baca Juga: Puncak Bogor Masih Padat Hingga Libur Sekolah Selesai

"Biasanya kainnya dari sekolahnya, terus mereka jahitnya ke saya," terangnya.

Sejak musim masuk sekolah dimulai, Candra mengaku sudah menerima puluhanpesanan seragam sekolah dari warga sekitar. Warga tersebut merupakan langganan setianya sejak lama.

"Kalau dihitung musim sekolah dan lebaran, naik 2-3 kali lipat, bisa dapet 400 sampai 500 ribu sehari," jelasnya.

Kepada bakabar.com, Candra mengaku lebih senang menjahit di pinggir jalan ketimbang menjadi karyawan di taylor. Alasannya, ia bisa bekerja lebih bebas tanpa dibatasi ruang dan waktu.

"Enakan gini mas, daripada kerja di pabrik atau ikut orang, alhamdulilah cukup buat bayar sekolah anak dan makan sehari-hari," tutupnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner