Opini

Lima Salah Kaprah Caleg dan Politisi di Arena Perang Udara

Di pileg dan pilpres 2024, hampir semua politisi dan caleg sudah paham betapa dahsyatnya ruang udara. Tak perlu mengeluarkan biaya besar untuk baliho

Featured-Image
Tahun 2024, semua caleg dan capres akan mengincar media sosial

Keempat, ada anggapan semakin sering posting foto, maka semakin dikenal. Padahal itu tidak cukup. Mesti ada narasi, konsep, serta strategi. Memosting foto berulang-ulang akan membuat orang lain bosan. Dulu, ada capres yang begitu massif di stasiun televisi. Pada satu waktu, iklan ini tidak mengundang simpati, tetapi antipati sebab terlalu sering tampil sehingga publik bosan.

Pencitraan itu juga memosisikan seseorang seperti malaikat. Sejauh yang saya amati di media sosial, orang-orang lebih suka figur yang otentik dan apa adanya. Anda tak perlu menampilkan hal hebat. Cukup ide-ide atau gagasan biasa, tapi itu menggambarkan apa yang menjadi keresahan banyak orang.

Anda bisa menyederhanakan semua yang rumit-rumi sehingga dipahami orang, sehingga banyak orang yang tercerahkan. Sekali Anda mencerahkan orang lain, maka dia akan menjadi pengikut setia atas semua yang kamu bagikan.

Menurut riset yang dilakukan Alvara, generasi milenial dan pengguna media sosial tertarik pada beberapa hal: (1) Mereka peduli dengan masalah sosial, makanya muncul petisi online dan situs berbagi. (2) Generasi ini suka berbagi pengetahuan, keterampilan, dan wawasan lainnya. (3) Generasi ini punya solidaritas yang tinggi pada follower (pengikut). Mereka suka mengabarkan apa pun. Mereka suka saling sapa dan memberitahu apa yang telah dan sedang dilakukan.

Kelima, banyak politisi yang tanpa sadar hanya pemantul dari berbagai isu-isu negatif mengenai calon presiden atau politisi Jakarta. Artinya, politisi ini menjadikan media sosial hanya sebagai arena tempur di mana dirinya adalah prajurit.

Di satu kanal media sosial, saya menyaksikan seorang politisi yang sibuk menyebar berita yang isinya kejelekan atau fakta keburukan seorang calon presiden. Dia tidak berpikir strategis. Harusnya dia melihat semua orang berpotensi menjadi pemilihnya, siapapun presidennya. Dia harus memosisikan semua kalangan sebagai teman atau sahabat sehingga pemilihnya pun bisa beragam.

Lagian, ketika dia hanya sibuk menjelekkan satu calon, maka sudah pasti dia akan kehilangan suara dari pendukung kubu yang dijelek-jelekkannya itu. Belum tentu juga pencinta capresnya akan mendukung dirinya. Sebab tindakan menjelekkan orang lain tidak selalu mengundang simpati.

Kata Sun Tzu, “Kenali dirimu, kenali lawanmu, maka ratusan pertempuran akan kamu menangkan.” Belajar dari Sun Tzu, seorang pakar strategi perang, jauh lebih baik jika kita mengenali kekuatan kita, apa saja yang kita miliki, kemudian mengenali musuh dan mengenali medan perang. Daripada fokus dengan medan perang orang lain, lebih baik kita fokus pada kekuatan apa yang kita miliki.

Jika saya dimintai masukan sama caleg itu, saya akan bilang padanya kalau arena pilpres bukanlah arena pertarungannya. Jika dia punya ide yang sama dengan capres, bolehlah ide itu memperkuat skema pemenangannya. Lebih baik dia fokus pada medan perang yang akan dia hadapi. Temukan di mana letak kekuatan, kemudian rencanakan strategi yang tepat untuk memaksimalkan semua kekuatan itu.

Daripada sibuk memikirkan arena tempur orang lain, lebih baik memikirkan arena tempur yang akan kita hadapi. Sebab orang lain menang, belum tentu kita kecipratan. Tapi jika diri kita yang menang, maka sudah pasti banyak hal yang bisa kita lakukan. Iya khan?

***

NAH, itu hanya segelintir hal yang saya amati. Menurut saya, setiap politisi harus melihat media sosial sebagai arena yang harus dimenangkan dengan citra yang positif. Tak ada guna menjadikannya sebagai arena perang dan menebar musuh di mana-mana. Lebih baik serap energi positif sehingga orang-orang akan merasakan gelombang dan manfaat yang sama.

Kalaupun politisi itu tidak punya waktu dan tidak tahu bagaimana memanfaatkannya, maka dia bisa bekerja dengan satu tim media sosial yang punya kecakapan sebagai intelligence assistant. Dalam buku Thomas L Friedman yang judulnya Thank You for Being Late, ada bab menarik mengenai bagaimana mengubah Artificial Intelligence (AI) menjadi Intelligence Assistant (IA)

Maksudnya, bagaimana mengubah kecerdasan buatan (artificial intelligence) menjadi asisten cerdas (intelligence assistant). Di masa depan, profesi sebagai intelligence assistant akan makin marak. Di era kecerdasan buatan, seseorang butuh teman-teman atau asisten untuk berdiskusi yang bisa menopang sisi intelektual, memahami bahasa media sosial, dan mengembangkan aplikasi untuk merespon semua isu.

Dibutuhkan pemahaman mengenai bagaimana media sosial untuk memenangkan hati banyak orang. Dibutuhkan satu strategi sehingga popularitas akan tinggi sehingga membawa dampak pada elektabilitas. Kita sudah menyaksikan strategi itu berjalan di beberapa pemilihan kepala daerah.

Seorang teman politisi pernah bercerita bahwa di pilkada barusan, strategi jangka pendek seperti bagi-bagi sembako dan proyek malah gagal di banyak tempat. Kerja politik menjadi kerja jangka panjang, dengan menguatkan karakter yang dilakukan secara konsisten di media sosial. “Sekali seseorang suka sama satu orang, akan sulit mengubah pilihannya,” kata teman itu.

Nah, dia benar.

Editor


Komentar
Banner
Banner