Benar, media sosial memang gratis, namun saat Anda ingin ada target besar untuk menjangkau sebanyak mungkin orang di situ, maka Anda harus berani keluar biaya.
Jangkauan media sosial selalu terkait dengan aset digital. Kalau follower Anda cuma 1.000, maka postingan Anda akan terbatas jangkauannya. Makanya, seorang caleg harus berani keluar ulang untuk memperluas jangkauan, khususnya para penggiat medsos di daerah yang menjadi dapilnya.
Baca Juga: Sering Curhat di Media Sosial, Ternyata Ada Untung dan Ruginya
Tak hanya itu, seorang caleg juga harus mempersiapkan tim profesional yang bekerja spartan untuk marketing. Tim ini akan mempersiapkan konten, merancang isu, mengenali tema-tema yang disukai netizen, lalu merancang konten yang kelak akan viral. Kerja-kerja ini bukan gratisan.
Kedua, banyak yang mengira popularitas di medsos akan sama dengan dunia nyata. Jika di dunia nyata dirinya seorang adalah tokoh di mana semua orang akan sopan dan hormat, maka dia berharap hal yang sama akan berlaku juga di dunia maya.
Pernah saya bertemu seorang politisi yang amat benci dengan media sosial. Dia kesal karena apa yang dibagikannya tidak ditanggapi orang lain, sementara orang biasa lainnya malah justru bisa jadi seleb medsos. Politisi ini kesal karena orang-orang menyapa dan memberi komentar yang dianggapnya merendahkan. Dia tak suka dipanggil Om atau Bro. Dianggapnya itu merendahkan.
Di media sosial, orang memang tak boleh baper. Kalau gampang marah, maka sebaiknya jangan masuk rimba media sosial. Di situ, semua orang bebas bicara dan komentar apa saja sepanjang itu masih dalam batasan etika netizen.