Hari Kemerdekaan RI

Letkol dr RM Soebandi: Pengabdian Dokter di Masa Kemerdekaan

Dalam rangka memeringati Hari Kemerdekaan Indonesia, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengenang pengabdian Letnan Kolonel Dr. RM Soebandi

Featured-Image
Letkol dr. R.M. Soebandi. Foto dok. detik health

bakabar.com, JAKARTA - Dalam rangka memeringati Hari Kemerdekaan Indonesia, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengenang pengabdian Letnan Kolonel Dr. RM Soebandi dokter pada masa perjuangan.

Dalam memeringati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-78, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia mengenang peran dokter masa perjuangan.

Salah satu dokter yang dikenang adalah Letnan Kolonel Dr. RM Soebandi, yang dikenal sebagai dokter tentara, sebagai bentuk penghargaan tersebut namanya diabadikan menjadi nama sebuah Rumah Sakit di Kota Jember, Jawa Timur, serta nama jalan dan perguruan tinggi.

"Peran Letkol Dr RM Soebandhi tidak hanya di medan perang, tetapi juga tidak melupakan tugas dasar seorang dokter yaitu merawat pasien dan prajurit yang terluka dan sakit," kata DR Dr Moh. Isman Jusuf, SpN dari Bidang Kajian Sejarah dan Kepahlawanan Dokter PB IDI melalui keterangan tertulis.

Baca Juga: Lomba Panjat Pinang, Dulunya adalah Tontonan Hiburan Warga Belanda

Lika-Liku Pendidikan Letkol Dr R.M. Soebandi

Letkol Dr R.M. Soebandi lahir pada 17 Agustus 1917 di Klakah, Lumajang. Putra sulung dari pasangan R. Soeradi Wignjosoekarto, kepala masinis stasiun Klakah, dengan RA. Siti Mariam.

Soebandi menamatkan sekolah Hollandsche Indlandsche School (HIS) di Lumajang. Kemudian, karena dia berasal dari keluarga ningrat maka berdasarkan keputusan pemerintah kolonial, diperbolehkan melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Probolinggo dan lulus tahun 1935.

Merasa tidak pusa, ia kembali melanjutkan pendidikannya ke Aglemeene Middlebare School (AMS) di Surabaya dan lulus pada tahun 1938.

Soebandi melanjutkan sekolah di Nederlandsche Indische Artsen School (NIAS) Surabaya. NIAS sendiri menjadi cikal bakal berdirinya Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Baca Juga: Teks Proklamasi, Detik-detik Menegangkan Penyusunan dan Pembacaannya

Soebandi dikatakan memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan mendapatkan dukungan dari orang tuanya untuk menjadi dokter. Pada masa itu, dokter menjadi sebuah profesi langka karena semata-mata ingin membantu agar masyarakat untuk mendapat layanan kesehatan yang layak.

Walau sempat frustasi dan berhenti berkuliah pada tahun 1942, Soebandi pun tidak menyerah dan bergegas ke Jakarta melanjutkan cita-citanya menjadi dokter, lalu pada 12 November 1943, ia pun lulus dinyatakan sebagai seorang dokter.

Selain mendapat gelar dokter, ia pun bertemu dengan pujaan hatinya bernama Rr. Soekesi dan menikah di tahun 1944.

Baca Juga: Fatmawati, Menjahit Sang Saka Merah Putih dengan Derai Air Mata

Kegiatan Aktivis dan Pahlawan Kemerdekaan

Selama di Jakarta, ia tinggal di asrama mahasiswa Ika Daigaku di Jl. Prapatan 10, dan berbagung bersama dengan aktivis kemerdekaan lainnya.

Mahasiswa yang menamakan dirinya Masyarakat Prapatan 10 itu, menganut ideologi “Reine Jurgend Ideologie,”. Artinya ideologi tanpa pamrih yang anti kedholiman, perongrongan, dan anti menginjak-injak hak asasi rakyat.

Tidak hanya itu, kelompok itu juga menjadi salah satu yang aktif mendorong Soekarno-Hatta segera membacakan teks proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Seusai lulus dari kedokteran, Soebandi kembali ke Jawa Timur dan terjun di dunia militer. Ia mengikuti pendidikan tentara PETA dan lulus sebagai Perwira Kesehatan Batalyon (Eise Shodanco) di Lumajang.

Baca Juga: HUT RI ke-78, Presiden Jokowi Kenakan Pakaian Adat Ageman

Setahun kemudian, Soebandi mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Kepala kesehatan (Eise Chudanco) di seluruh Batalyon PETA Karesidenan Malang.

Pada 1945, Soebandi beralih profesi menjadi dokter tentara di Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bertugas di berbagai rumah sakit, mulai Probolinggo, Lumajang dan Malang.

Haingga setahun kemudian, ia diangkat menjadi kepala rumah sakit di Rumah Sakit Djawatan Kesehatan Tentara (DKT) Jember yang sekarang bernama RS. Baladhika Husada.

Setelah bertugas di berbagai kesatuan pada Desember 1948 Letkol dr. RM, Soebandi, ditugaskan sebagai wakil komandan Brigade III Damarwulan mendampingi komandan Letkol. Mochamad Sroedji. Selain sebagai wakil komandan Soebandi merangkap sebagai Residen Militer Besuki dan dokter militer.

Baca Juga: Nyanyikan 'Rungkad' Putri Ariani Sukses Bikin Pecah Istana

Namun karena Belanda mengingkari perjanjian Renville dan melakukan agresi militer secara besar-besaran. Pada 29 Desember 1948, Panglima Besar Jendral Soedirman memerintahkan pasukan yang ada di Blitar diminta untuk kembali ke daerah asal dengan melakukan aksi wingate dan bergerilya melawan Belanda,

Pada 8 Februari 1949 dini hari, pasukan Damarwulan yang berjumlah kurang dari 100 orang beristirahat di Desa Karang Kedawung, Mumbulsari, Jember yang berada di tepi hutan.

Namun keberadaan rombongan ini diketahui oleh mata-mata militer Jepang, dan melakukan penyergapan oleh pasukan Belanda dari Kompi IV Batalyon XXIII KNIL di bawah komando Lettu F.G Schelten.

Walau Soebandi berhasil lolos, namun tidak dengan sahabatnya, Sroedji, yang tertembak oleh pihak Belanda, Ia pun menolong sahabatnya namun naas mereka berdua diberondong senapan oleh Pratu Josep Kesek dari KNIL hingga jatuh tersungkur dan gugur berdampingan. Selain keduannya, belasan pasukan serta warga desa ikut jadi korban.

Jasad Soebandi dimakamkan oleh masyarakat desa di lokasi kejadian. Tetapi, karena banyaknya korban, jasad baru ditemukan dan teridentifikasi pada 23 Maret 1950.

Potret Istri dan Anak Letkol dr. R.M. Soebandi. Foto: dok. kabarjateng
Potret Istri dan Anak Letkol dr. R.M. Soebandi. Foto: dok. kabarjateng

Istri Soebandi, Rr. Soekesi dalam buku hariannya menuliskan bawa sebelum gugur dari tempat bergerilya, suaminya sempat mengirim surat terakhir yang dikirim melalui kurir rahasia. Dalam surat itu, tertulis “Jaga anak-anak dengan baik. Bila Tuhan menghendaki kita akan bersatu lagi.”

Baca Juga: Google Rayakan Kemerdekaan RI lewat Ilustrasi Diela Maharanie

Letkol Dr RM Soebandhi meninggalkan seorang istri, Rr. Soekesi, dan tiga orang putri, Widyasmani, Widyastuti dan Widorini.

Pengakuan dan Penghargaan dari Negara

Kemudian, atas prakarsa Masyarakat Desa Karang Kedawung sekitar tahun 1980-an di lokasi pertempuran didirikan monumen untuk mengenang para pahlawan yang gugur di sana.

Pada 9 Februari 2019, untuk mengenang 70 tahun gugurnya Letkol Dr RM Soebandi, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Jember meluncurkan buku biografi berjudul “Letkol dr. RM. Soebandi: Jejak Kapahlawanan Dokter Pejuang” ditulis oleh Gandhi Wasono M dan Priyo Suwarno

Biografi ini berisi kisah perjuangan dokter yang gugur di usia 32 tahun yang oleh pihak TVRI Jatim diangkat menjadi film dokumenter dengan judul “Jalan Sunyi dr. Soebandi” dan disiarkan TVRI Nasional pada 13 Mei 2022.

Film dokumenter tersebut sekaligus terpilih sebagai film dokumenter terbaik TVRI Nasional dan mendapat penghargaan piala “Gatra Kencana”.

Baca Juga: Pakaian Erick Thohir Saat HUT RI ke-78: Terinspirasi Boedi Oetomo

Pada bulan Juni lalu, Universitas dr. Soebandi (UDS) Jember mendirikan “Museum Letkol. dr. RM, Soebandi” termasuk patung logam setengah badan. Museum berisi barang-barang peninggalan Letkol Dr RM Soebandhi agar perjuangan dia terus lestari dan menjadi inspirasi generasi mendatang.

Soebandi dikatakan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk Indonesia. Dia meninggalkan kemapanan demi kemerdekaan dari tangan penjajah dan rela meninggalkan istri dan anak-anaknya untuk berjuang di medan tempur.

Editor


Komentar
Banner
Banner