bakabar.com, SOLO - Kopi Podjok Pasar Gede, sudah berjualan sejak 1942. Konsisten pertahankan rasa dan orisinalitasnya.
Lorong-lorong Pasar Gede tak pernah sepi, terutama saat hari libur. Deretan kios-kiosnya pun turut ramai dikunjungi pembeli, ada yang singgah untuk membeli oleh-oleh, tak sedikit pula yang mampir untuk menikmati kulinernya.
Salah satu kios yang juga selalu dipadati wisatawan adalah Toko Kopi Podjok Pasar Gede.
Kedai kopi yang berada di sudut selatan Pasar Gede, di Jalan Pasar Besar Nomor 38, Surakarta, Jawa Tengah ini selalu terlihat ramai dikunjungi pembeli.
Padahal, kedainya tak begitu besar. Di dalamnya pun tak tersedia meja-meja selayaknya kedai kopi kekinian yang digandrungi anak muda.
Karena letaknya di pojok Pasar Gedhe, kedai kopi ini bernama Kopi Podjok. Pengunjung biasanya datang bukan untuk nongkrong atau berlama-lama di kedai, melainkan membeli kopi bubuk atau kopi cup hangat maupun dingin untuk dibawa pulang.
Baca Juga: Mengenal Benteng Vastenburg, Situs yang Merekam Pakubuwono II dan Sejarah Solo
Saat melewati kedai Kopi Podjok, nampak banyak pengunjung yang keluar dengan membawa sebungkus kopi bergambar angkring ditangannya.
Saat memasuki kedai tersebut, pengunjung akan mencium aroma kopi yang menyeruak hingga ke setiap sudut ruangan.
Mereka juga akan disambut pelayan Kopi Podjok dengan ramah Mereka kemudian menawarkan berbagai jenis kopi baik dari dalam negeri maupun luar negeri dengan nuansa tradisional.
Hal itu terlihat dari tempat penyimpanan biji kopi yang masih menggunakan kotak kayu dengan logo kemasan bergambar angkring atau alat untuk memikul.
Wendy pengelola kopi podjok bercerita, hingga saat ini ia dan para pegawainya masih menyangrai biji kopi dengan tungku sebelum menggilingnya menjadi bubuk.
“Untuk proses sangrai tidak di toko, tetapi langsung di daerah asal petani kopinya. Ada yang dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.” kata Wendy yang sehari-hari tinggal di Banjarsari.
Adapun untuk pengolahan biji kopi, Wendy menuturkan, masih menggunakan penggilingan tradisional dengan menggunakan mesin peninggalan orangtuanya.
Baca Juga: Wedang Tahok, Kuliner Langka Khas Solo Berusia Setengah Abad
“Terutama untuk jenis kopi robusta Cap Angkring yang menjadi produk andalan khas Toko Kopi Podjok,” kata Wendy.
Wendy menjelaskan kopi tersebut diberi nama angkring karena ketika generasi pertama keluarganya menjual kopi dengan menggunakan angkring. Wendy sendiri adalah generasi ketiga yang melanjutkan usaha ini.
“Sampai sekarang, kemasannya pun tidak diubah, masih ada gambar laki-laki bercaping yang membawa angkring di pundaknya,” tutur Wendy.
Kopi Cap Angkring dihargai cukup murah di kedai tersebut. Harganya hanya Rp12.000 per 10 bungkus kecil dan Rp15.000 per seperempat kilogram.
“Kalau ingin menikmati langsung di toko juga bisa, per cup-nya Rp5.000 saja, buka dari jam 09.00 sampai 15.30 WIB,” ujarnya.
Wendy menuturkan, Kopi Podjok juga menjual 23 jenis kopi, mulai dari lokal sampai impor yang didapat langsung dari petaninya.
Adapun jenis kopi yang dijual, yakni Gayo Aceh atau Gayo Wine, Sidikalang, Mandailing, Lintong, Simalungun, Sipirok, Solok, Java, Kerinci Jambi, Bali Kintamani, Toraja, Kalosi, Flores Yellow Caturra, Papua, dan Arabica Peaberry.
Baca Juga: TFP Kopi Warung, Western Food Unik di Tengah Klasiknya Pasar Gede Solo
Sebutan Kopi Angkring
Sebelum menetap di Pasar Gede, pendiri Kopi Podjok yakni Liem A Meen lebih dulu berjualan berkeliling di sudut kampung Kota Solo mulai tahun 1947.
Liem A Meen menjajakan kopinya dengan menggunakan gerobak.
Lantaran hal tersebut, warga Solo mengenal produk kopi Liem A Meen dengan nama "Kopi Angkring" yang melegenda hingga sekarang.
"Baru setelah tahun 1963, kakek saya kala itu menetap di Pasar Gede Solo," pungkasnya.