bakabar.com, JAKARTA - Kementerian PUPR sudah memasukkan tragedi Km 171 Tanah Bumbu di daftar prioritas 2024. Tapi, mandek di ESDM.
Menteri PUPR, Basuki Hadimoeljono mengaku menunggu hasil evaluasi Kementerian ESDM. Apakah longsor jalan nasional di Kalimantan Selatan itu ditangani pemerintah atau tidak.
"Kalau masalah tambangnya diselesaikan, kami (PUPR) segera selesaikan jalannya," ungkapnya kepada wartawan di komplek DPRI RI, Rabu (30/8).
Baca Juga: Menteri ESDM Menghindar Ditanya Status Tragedi Km 171 Tanah Bumbu
Baca Juga: Ambrol karena Tambang, Km 171 Malah Pakai APBN!
Artinya, uang penanganan sudah disiapkan. Tinggal eksekusi. Tapi PUPR tak bisa sembarangan.
Apalagi, longsornya jalan nasional di Desa Satui, Km 171 itu berkaitan dengan pertambangan. Di sekitarnya ada galian lubang tambang.
Intinya, kalau longsor itu berstatus bencana alam, maka ditangani dengan APBN. Tapi, jika disebabkan tambang, maka tanggung jawab penambang.
"Karena itu ada tanggung jawab penambang," terangnya.
Di bagian itu, ESDM lah yang mesti memastikan. Sekali lagi, PUPR tak punya hak. Mereka hanya bertanggung jawab untuk perbaikan. Dengan catatan, kerusakan itu terjadi secara alami.
"Kami bergantung dari hasil evaluasi ESDM," ucap Basuki. Kata dia, PUPR baru bisa melakukan penataan jalan setelah urusan penambang stabil.
Biar tahu saja. PUPR sebenarnya sudah punya penilaian sendiri. Longsor itu terjadi akibat tambang ilegal. "Jalan kita di atas. Bawahnya digaruk-garuk. Ya longsor," ucapnya.
Padahal, sepengetahuan dia, jalur transportasi tambang di Kalimantan Selatan adalah yang terbaik. Dibanding dengan provinsi lainnya.
Baca Juga: Kementerian Cari Biang Kerok Tragedi Km 171 Tanah Bumbu
Hal itu dibuktikan dengan adanya perda yang mengatur transportasi tambang.
"Banyak jalan khusus untuk tambang. Kayak flyover yang dibikin oleh penambang untuk jalan nasional," paparnya.
Pada kenyataannya, di balik perda yang bagus, banyak aktivitas tambang tak berizin di Kalimantan. Membawa banyaknya kerugian untuk masyarakat di sana.
Ada yang Main Mata
Kembali ke Km 171. Di sana memang ada dua perusahaan tambang yang aktif. PT Arutmin Indonesia dan PT Mitra Jaya Abadi Bersama (MJAB). Tapi percuma menuduh mereka.
Keduanya sama-sama punya alibi. Mereka legal. Menambang sesuai aturan. Sulit mencari celah untuk menyangkakan tragedi jalan lonsor itu.
MJAB berdalih lubang tambang mereka berjarak 500 meter dari jalan. Sementara Arutmin mengeklaim 700 meter. Kedua mengaku sama-sama mengikuti regulasi.
Baca Juga: Biang Kerok Tragedi Km 171 Tanah Bumbu, Walhi Tuding Negara Terlibat
MJAB sempat tertuduh jadi biang kerok longsornya jalan itu. Tapi lagi-lagi alibi mereka masih kuat. Wilayah konsesinya berjarak sekitar 250 meter dari tepi jalan. Dan tak ditambang.
Begitu juga dengan Arutmin. Sekalipun titik longsor berada di area konsesi mereka, nyatanya perusahaan ini menolak dicap sebagai biang kerok.
Lantas, siapa si biang kerok? Tuduh saja penambang ilegal. Paling tidak, itulah yang sempat disimpulkan Kementerian ESDM. Cek saja siaran pers Ditjen Minerba pada 25 Mei 2023.
Jadi, apa yang terjadi hingga tiba-tiba muncul APBN untuk perbaikan Km 171? Pemerhati sosial Anang Rosyadi punya narasi sumbang.
"Ada indikasi main mata antara pemerintah dan penambang," tudingnya.
Bagi dia, rasa-rasanya mustahil jika ESDM kesulitan mencari biang kerok tragedi jalan longsor itu. Lewat citra satelit saja, bisa di-tracking siapa yang bekerja di sana.
Apalagi jika sudah sampai menurunkan tim inspeksi. Mestinya ESDM sudah tahu siapa yang harus bertanggung jawab.
"Jalan itu tempat lalu lalang pejabat dan aparat. Mustahil kalau itu penambang ilegal. Itu adalah menambang yang dibiarkan menambang di tempat yang terlarang," tuduhnya.
Ia heran. ESDM seolah tak tahu apa yang harus dilakukan. Toh, mereka juga pernah menyimpulkan kerusakan di sana akibat tambang.
"Tidak masalah jika APBN. Tapi tanggung jawab perusahaan harus jelas. Karena sebelumnya ESDM menawarkan dengan CSR patungan," katanya.
Lagi-lagi, Anang menaruh curiga. Jangan-jangan ada kesepakatan jahat di balik tragedi Km 171 Tanah Bumbu ini.
Baca Juga: Lembek soal Km 171 Tanah Bumbu, Jokowi Disindir Habis Habib Banua!
"Bahayanya jika kebijakan ini tidak disertai dengan penegakan hukum dan tanggung jawab. Tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga merugikan negara," lantangnya.
Anang menuntut biang kerok kerusakan itu ditindak. Termasuk jika ada aparat yang terlibat. Kata dia, faktanya sudah ada.
"Jadi sebelum diambil alih negara. Tanggung jawab perusahaan harus jelas. Mereka harus tetap dimintai tanggung jawab anggaran atau hukum," tutupnya.