bakabar.com, JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan Indonesia belum siap dengan kebijakan redenominasi rupiah. Alasannya masih ada dua tantangan besar yang belum diselesaikan.
Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto mengungkapkan tantangan pertama yaitu ketidaksiapan masyarakat dalam menerima bentuk baru mata uang rupiah.
"Pada masyarakat daerah banyak yang belum siap, karena tidak terbiasa dengan penomoran baru itu. Tapi, kalau orang di kota besar itu biasa, karena kafe dan mall di perkotaan sudah menggunakan istilah 10 rupiah,” ujarnya kepada bakabar.com Kamis (23/3).
Sosialisasi masyarakat
Perubahan nominal uang hasil redenominasi biasanya membuat para pedagang melakukan pembulatan harga ke atas. Akibatnya harga jadi lebih mahal.
Baca Juga: Pemerintah Wacanakan Redenominasi Rupiah, Celios: Awas Hyperinflasi
“Misalnya harga barang sebelum pemangkasan nominal uang Rp9.200 kemudian tidak mungkin jadi Rp9,5 paska redenominasi, yang ada sebagian besar harga dijadikan Rp10,” tuturnya.
Bagi masyarakat di perkotaan, utamanya kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas, biasanya sudah terbiasa dengan penomoran rupiah yang baru. Hanya saja, masyarakat perkotaan atau kalangan menengah ke atas secara garis besar persentasenya sangat kecil. Sehingga akan mengakibatkan kebingungan masal, jika kebijakan redenominasi dipaksakan.
“Indonesia lebih di dominasi dengan kelas menengah ke bawah. Di sisi lain, Indoensia itu sangat luas, sehingga jadi tantangan tersendiri untuk dilakukan sosialisasi,” kata Eko.
Pemerintah harus terlebih dahulu membiasakan masyarakat Indonesia dengan sistem penomoran baru tersebut.
Baca Juga: Rupiah Melemah di Tengah Ekspektasi AS Tak Agresif Naikkan Suku Bunga
"Contoh saja seperti nominal 75 ribu, di daerah-daerah banyak menolak pembayaran menggunakan uang itu. Padahal BI menyebut itu uang resmi," tuturnya.
Inflasi semu
Tantangan kedua yang perlu dicemati adalah terciptanya inflasi semu. Ketika redenominasi berlaku, otomatis akan ada penetapan harga baru.
Eko mencontohkan penjualan pensil. Jika sebelum redenominasi harganya Rp1,000. Kemudian akibat inflasi harganya naik menjadi Rp1,100.
Lalu pemerintah menjalankan kebijakan redenominasi dengan menghilangkan tiga angka nol di belakang rupiah. Harganya yang tadinya 1 rupiah karena inflasi harganya menjadi 1,1 rupiah.
Baca Juga: Bank Indonesia Akui Krisis Finansial di Amerika Sebabkan Rupiah Anjok
"Tapi karena tidak ada kembalian, dijualah jadi 1,5 rupiah. Sekilas terlihat kecil tapi kalau secara garis besar itu setara inflasi 50 persen,” ucap Eko.
Untuk itu pemerintah perlu menyelesaikan kedua permasalahan tersebut jika ingin menetapkan kebijakan redenominasi.