Hilirisasi Nikel

Kebijakan Hilirisasi Nikel, ReforMiner: Bukan Hal Baru bagi Indonesia

Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menegaskan pemerintah Indonesia berkomitmen untuk terus menggenjot kebijakan hilirisasi di dalam negeri.

Featured-Image
Presiden Joko Widodo kembali menyampaikan pentingnya hilirisasi, industrialisasi, dan pengurangan impor saat melakukan groundbreaking proyek hilirisasi batu bara DME di Kabupaten Muara Enim. Foto-Istimewa

bakabar.com, JAKARTA - Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menegaskan pemerintah berkomitmen untuk terus menggenjot kebijakan hilirisasi di dalam negeri.

Sekalipun program tersebut mendapat penolakan dari Dana Moneter Internasional (IMF), Bahlil menegaskan, Indonesia saat ini mempunyai tujuan untuk bisa menjadi negara maju. Sementara kunci untuk menjadi negara maju, salah satunya melalui industrialisasi.

Pengamat Energi, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai, sikap Indonesia itu bukan hal yang baru. Sejak lama pemerintah telah menetapkan kebijakan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah dari suatu produk.

"Setiap negara sebenarnya memiliki kedaulatan untuk dapat mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Artinya kalau Indonesia sudah menentukan sikap kalau kita sudah melaksanakan kebijakan hilirisasi, sebenarnya bukan hal yang baru," ujar Komaidi kepada bakabar.com di JAKARTA, Sabtu (1/7).

Baca Juga: Smelter Freeport, Menteri Bahlil Wajibkan Dibangun di Papua

Karena menurutnya, sejak tahun 2009, hal itu  sudah diamanatkan melalui UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara. Di dalamnya dibahas khusus tentang pentingnya hilirisasi atau strategi suatu negara untuk meningkatkan nilai tambah komoditas yang dimiliki.

"Memang kita sudah secara bertahap tidak semata-mata baru kali ini begitu. Berdasarkan tahapan atau payung hukum maupun aspek-aspek yang lain, kita mempunyai dasar yang cukup kuat," terang Komaidi.

Selain itu, apakah salah Indonesia mengikuti jejak bangsa Eropa dalam menjalankan hilirisasi, menurut Komaidi, hal itu tetap dibenarka. Tidak ada sesuatu yang keliru, karena negara-negara lain juga melakukan hal serupa. Bahkan mereka sudah melakukannya sejak lama.

Baca Juga: IMF Minta Larangan Ekspor Nikel Dicabut, Bahlil: Itu Kekeliruan Besar

Sementara terkait dengan permintaan IMF terkait pembatasan nikel oleh Indonesia, menurut Komaidi hal itu harus diselesaikan dengan baik. Itu perlu untuk mencapai kesepakatan bersama.

"Mungkin hal-hal yang perlu diselesaikan adalah kerja sama antara kita dan negara-negara yang selama ini menggunakan nikel kita, yang memang ada hal-hal yang belum kita tunaikan. Mungkin yang perlu menjadi sorotan utama bagi kita supaya di dalam langkahnya juga clean and clean begitu ya," ujarnya.

Komaidi menambahkan, "Artinya sudah beres semua urusan-urusan kontrak dengan mereka begitu."

Baca Juga: Bahlil Tidak Habis Pikir, IMF Katakan Rugi jika Ekspor Nikel Dilarang

Khusus terkait dengan analogi IMF yang menyebut hilirisasi berpotensi merugikan negara, menurut Komaidi, hal itu tidak relevan. Karena pemerintah memiliki hak untuk menentukan arah kebijakannya sendiri.

Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang berhak untuk mengatur negara lain. Karena hal itu merupakan kewenangan atau hak mutlak dari negara pemilik sumber daya alam. Namun ketika ada kaitannya dengan perjanjian antar-negara, maka kesepatakan itu harus dipatuhi.

"Artinya kalau kita mau gunakan sendiri untuk memaksimalkan nilai tambah ekonomi, tidak sesuatu yang keliru asalkan kerja sama atau kontrak yang sebelumnya sudah ditandatangani untuk durasi tertentu. Itu yang saya kira perlu kita hormati," pungkasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner