bakabar.com, JAKARTA - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia buka suara soal permintaan International Monetary Fund (IMF) terkait kebijakan larangan ekspor nikel Indonesia.
Walaupun begitu, kata Bahlil, IMF mengakui pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5 persen. IMF juga mengapresiasi tingkat inflasi Indonesia di bawah 5 persen dan ini salah satu pertumbuhan dan inflasi yang terbaik di antara negara G20.
"Tapi IMF jugamengatakan bahwa kita dalam mengelola keuangan negara itu defisit kita kembalikan ke bawah 3 persen satu tahun lebih cepat," ujar Bahlil di Jakarta, Jumat (30/6).
Selanjutnya, Bahlil mengungkapkan adanya standar ganda yang ditunjukkan oleh IMF. Di satu sisi, IMF mendukung kegiatan hilirisasi mineral kritis Indonesia untuk mendorong transformasi struktural dan penciptanaan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja.
Baca Juga: Bahas Permintaan Pencabutan Ekspor Nikel, Luhut Sambangi IMF
"Namun IMF menentang kebijakan larangan ekspor, karena menurut analisa untung rugi yang dilakukan IMF itu adalah menimbulkan kerugian penerimaan negara dan berdampak negatif kepada negara lain," ujar Bahlil.
Hal itu, menurut Bahlil sebagai kekeliruan besar yang dilakukan oleh IMF. Pertama, aktivitas Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia ternyata tumbuh 19 persen. Bahkan pada Kuartal I tahun ini sudah berada di angka 20 persen.
"Dan FDI ini di luar hulu migas dan sektor keuangan," tegasnya. Ini merupakan kepercayaan publik global terhadap indonesia seiring dengan kebijakan ekonomi, termasuk reformasi regulasi yang sebelumnya kerap memperhambat investasi.
Bahlil menambahkan, "Walaupun saat ini Indonesia dalam tahun politik, trust global kepada Indonesia di bawah pemimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu kuat sekali."
Baca Juga: Ekonomi Indonesia, IMF: Jauh di Atas Rata-Rata Pertumbuhan Dunia
Yang kedua, IMF menyebut Indonesia akan merugi dengan kebijakan hilirisasi. "Ini diluar nalar berfikir sehat saya. Dari mana dia bilang rugi? Tahu nggak, dengan kita melakukan hilirisasi penciptaan nilai tambah sangat tinggi di negara kita," ungkap Bahlil.
Salah satu contohnya ekspor Indonesia untuk komoditas nikel. Ekspor di 2017-2018 hanya USD3,3 miliar. Begitu ekspor nikel dihentikan dan berganti dengan hilirisasi, ekspor meningkat hampir USD 30 miliar atau 10 kali lipatnya.
Selain itu, pada 2016-2017 defisit neraca perdagangan Indonesia dengan China sebesar USD18 miliar. Akibat hilirisasi, dimana ekspor tidak lagi berbentuk komoditas mentah tapi dalam bentuk ekspor jadi dan setengah jadi, hasilnya sangat drastis.
"Tahun 2022 defisit kita hanya USD1,5 miliar. Dan di kuartal pertama 2023 kita surplus USD1 miliar," papar Bahlil.
Baca Juga: Demi Nilai Tambah, Menko Airlangga: Kita Perjuangkan Hilirisasi Nikel
Selain itu, hiliriasai telah menciptakan surplus neraca perdagangan hingga 25 bulan berturut-turut. Termasuk juga dengan neraca pembayaran yang ikut mengalami perbaikan dan surplus.
"Jadi yang tahu pendapatan negara tercapai atau tidak bukan IMF, kita pemerintah. Dan tidak hanya pendapatan negara, akibat hilirisasi juga terjadi pemerataan ekonomi di daerah, terutama daerah penghasil komoditas bahan baku," jelasnya.
Karena itu, Bahlil mengungkapkan, hilirisasi bukan hanya konteks meningkatkan nilai tambah. Hilirasasi harus dimaknai sebagai bentuk kedaulatan bangsa. Sehingga siapapun yang mengatakan hilirisasi merugikan negara, hal itu tidak relevan.