bakabar.com, JAKARTA - Pendamping memiliki peran penting dalam kasus kekerasan seksual, mereka bisa membantu korban baik secara hukum hingga psikologis.
Dilansir yayasanpulih.org, kekerasan seksual merupakan suatu tindakan berupa ucapan atau perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain, serta membuatnya terlibat dalam aktifitas seksual yang tidak dikehendaki.
Hal tersebut juga disebutkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang meneguhkan pengakuan hukum secara menyeluruh pentingnya peran pendamping dalam penyelesaian kasus di ruang pengadilan.
Pendamping korban tidak lagi dipandang sebelah mata dalam proses peradilan, namun menjadi bagian penting dalam proses penyelesaian perkara. Korban dapat didampingi oleh Pendamping pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan (Pasal 26 ayat 1).
Pada Undang-undang tersebut, pendamping korban kekerasan seksual sendiri memiliki kekebalan hukum ketika ia melakukan pendampingan korban dan saksi (Pasal 28 dan 29).
Baca Juga: LPSK Nyatakan Indonesia Darurat Kekerasan Seksual!
Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan menegaskan pentingnya peran pendamping ketika terjadi atau ada seseorang yang mengalami kekerasan seksual. Menurutnya, ada tiga hal penting yang perlu jadi perhatian ketika ada perempuan di lingkungan terdekat kita menjadi korban pelecehan seksual:
1. Dengar dan Percaya terhadap Korban
Saat korban kekerasan seksual melaporkan insiden yang dialaminya, seorang pendamping harus mendengarkan dan percaya akan kesaksian korban, tanpa unsur judgmental dan menghakimi.
Hal ini dilakukan untuk membantu korban agar tidak merasa terkucilkan dan memberikan support bagi korban untuk menjadi lebih kuat.
"Pendamping tidak boleh menyalahkan korban, yang harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut adalah pelaku," ujar Veryanto kepada apahabar pada Kamis, (10/8).
2. Membantu Melewati Masa Kritis dan Trauma
Menjadi seorang korban kekerasan seksual pasti mengalami trauma yang berat, mengakibatkan mental dan fisik menjadi terganggu.
Veriyanto menekankan, sebagai pendamping, kita harus membantu dan membuat korban merasa aman. Mengenali kebutuhan korban sangat disarankan, seperti memberikan rumah aman sementara, konselor, pendamping hukum, dan lainnya.
3. Merahasiakan Identitas Korban
Identitas dan keterangan korban kekerasan seksual sangat penting dijaga kerahasiaannya, untuk menghindari rekam jejak digital yang membuat korban merasa tak nyaman.
Di era serba digital saat ini, sangat dengan mudah mengenal seseorang hanya mengetahui nama mereka, disini peran media dan netizen sangat dibutuhkan untuk menghindari mempublikasikan identitas koran kekerasan seksual.
Baca Juga: Cegah Kekerasan Seksual, Sekjen Kemenaker: Aturan Beri Rasa Nyaman
"Penyampaian informasi ke publik atas kasus yang dialami korban sebaiknya berdasarkan pada consent (persetujuan), dan jangan sampai membuat risiko terhadap korban," ujarnya menegaskan.
Menurut Veryanto, durasi pendampingan tidak bisa dipukul rata, karena tergantung dari kondisi dan daya tahan korban. Ia juga menambahkan bahwa pada kenyataannya korban membutuhkan waktu yang relatif lama untuk pulih, bahkan walau pelaku sudah dihukum atas kasusnya.
"Selain pendamping, sebenarnya mereka juga butuh dukungan dari orang-orang terdekat, keluarga, pendamping dan masyarakat untuk mengatasi trauma dan dampak ikutan dari pengalaman korban kekerasan," sambungnya.