Transisi Energi

Hutan Tanaman Energi: Gandakan Polusi dari Kebakaran Hutan dan PLTU

Manager Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Oktaviani menjelaskan program produksi biomassa pelet kayu tidak dapat dikategorikan transisi energi.

Featured-Image
Barwan, salah satu distributor biomassa serbuk kayu yang digunakan untuk co firing PLTU Jeranjang di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Foto: ANTARA

bakabar.com, JAKARTA - Manager Kampanye Bioenergi Trend Asia Amalya Oktaviani mengungkapkan program bioenergi dengan menggenjot produksi biomassa pelet kayu, tidak dapat dikategorikan sebagai transisi energi yang bersih dan berkeadilan. Sebaliknya itu adalah solusi palsu.

Pemerintah sendiri menargetkan untuk memproduksi 10 juta ton biomassa untuk PLTU co-firing hingga tahun 2025, namun hingga Juni 2023 produknya baru mencapai angka 0,5 juta ton.

"Pemerintah terlihat panik menangani kebakaran hutan, tapi di balik itu, pemerintah menggesa pembangunan hutan tanaman energi, untuk menghasilkan kayu-kayu yang akan dibakar di PLTU co-firing maupun PLTBm,” papar Amalya dalam keterangannya Minggu (15/10).

Saat ini, ketika musim kemarau yang lebih kering akibat El Nino, ancaman kebakaran hutan semakin meningkat. Kondisi itu diperparah dengan tekanan target pemerintah memenuhi kebutuhan biomassa pelet kayu untuk pembakaran di PLTU co-firing.

Baca Juga: Dukung Transisi Energi, STuEB: Percepat Pensiun Dini PLTU Batu Bara

Laporan Trend Asia [2022] menjelaskan pemenuhan target co-firing 10 persen di 52 unit PLTU, maka setidaknya dibutuhkan 2,3 juta hektar Hutan Tanaman Energi (HTE). Hal itu akan mengakibatkan deforestasi sedikitnya 1 juta hektar.

“Membakar lahan menjadi cara yang mudah dan murah untuk land clearing konsesi. Dalam banyak praktik hutan tanaman industri sebelumnya, kebakaran di dalam konsesi merupakan cara korporasi untuk mempercepat pembukaan lahan supaya bisa ditanami tanaman monokultur,” terang Amalya.

Pada tahun 2022, sebanyak 31 Perizinan Berusaha Pengelolaan Hutan - Hutan Tanaman (PBPH-HT) tersebut, yang semula mengusahakan Hutan Tanaman Industri
(HTI) berkomitmen mengalokasikan konsesinya untuk menanam tanaman energi.

Sejumlah grup besar, termasuk grup Kertas Nusantara, Katingan Timber Group, dan Barito Pacific, telah mengalokasikan seluas 202 ribu hektare untuk ditanami tanaman energi.

Baca Juga: Pendanaan PLTU Batu Bara oleh BNI, Memperparah Krisis Iklim

Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut ada tujuh provinsi yang menyatakan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan dan enam provinsi di antaranya terdapat konsesi HTE.

Enam provinsi tersebut yakni Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Konsesi HTE terbanyak terdapat di Kalimantan Barat, yaitu 7 perusahaan yang 3 di antaranya izinnya sudah dicabut melalui Keputusan Menteri LHK SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan.

Namun, masih ditemukan titik api di dalam 3 wilayah konsesi tersebut, yaitu PT
Bhatara Alam Lestari, PT Nityasa Idola, dan PT Gambaru Selaras Alam.

Baca Juga: PLTU Paiton Tidak Pensiun Dini, Dirut PLN: Gunakan Biomassa 100 Persen

Selain itu, jika menilik data hotspot yang dihimpun oleh Trend Asia, titik api juga ditemukan di Pulau Jawa, mencapai 9.710 titik yang sebagian berada di wilayah Hutan Produksi dan Hutan Produksi Terbatas yang merupakan wilayah kerja Perhutani.

Dalam proses penyediaan biomassa kayu untuk bahan baku PLTU co-firing, Perhutani berperan menyediakan 75 ribu hektare lahan.

“Penggenjotan program co-firing PLTU jelas menimbulkan banyak masalah, selain
memperpanjang usia pembangkit listrik batu bara dalam memaparkan polusi, penyiapan bahan baku biomassa yang bersumber dari konsesi HTE juga berpotensi memperluas deforestasi dan perampasan lahan,” terang Amalya.

Baca Juga: Perhutani Kembangkan Bisnis Baru di Bidang Biomassa dan NBS

Menurut dia, hutan alam seharusnya dijaga sebagai benteng mitigasi krisis iklim, bukannya malah menjadi bahan bakar di pembangkit batu bara. Namun menjelang tahun politik, dengan praktik ijon politik makin kencang, land clearing melalui kebakaran hutan di luar konsesi justru dilihat sebagai upaya justifikasi agar lahan yang terbakar dapat dibebani izin konsesi baru.

Hutan alam seharusnya dijaga sebagai benteng mitigasi krisis iklim, bukan malah menjadi bahan bakar di pembangkit batu bara. "Ini menunjukkan Indonesia masih jauh dari komitmen melawan krisis iklim,” tandasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner