Hilirisasai Mineral Mentah

Hilirisasi Selalu Kandas, Bahlil: Negara Maju Tak Rela Indonesia Maju

Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengungkapkan praktik hilirisasi bahan mentah tambang sebenarnya sudah diupayakan pemerintah sejak lama.

Featured-Image
Menteri Investasi Indonesia Bahlil Lahadalia saat ditemui usai Rapat Terbatas Perdagangan Karbon di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (3/5/2023). Foto: ANTARA

bakabar.com, JAKARTA - Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengungkapkan praktik hilirisasi bahan mentah tambang sebenarnya sudah diupayakan pemerintah sejak lama. Namun hingga saat ini, program hilirisasi tak kunjung terlaksana karena selalu dijegal oleh negera-negara maju (kelompok G7). 

Sebelumnya, pada periode 1955-1960, hilirisasi telah diupayakan di eranya Presiden Soekarno. Kemudian, kembali digaungkan di masa Presiden Soeharto pada tahun 1960-an hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Namun semua upaya hilirasi selalu kandas, lantaran negera-negara maju di Eropa dan Amerika yang tergabung dalam G7 terus menghalangi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia untuk mengolah mineral mentahnya sendiri. 

"Memang negara-negara G7 tidak pernah merelakan negara berkembang yang memiliki sumber daya alam menjadi negara maju, upaya hilirisasi selalu dijegal," ujar Bahlil dalam diskusi Research & Innovation Expo 2023, Kamis (15/6).

Baca Juga: Temuan ESDM, Hilirasasi Nikel Paling Progresif Dibanding Mineral Lainnya

Terbukti, kebijakan pemerintah menyetop ekspor nikel saat ini mendapatkan perlawanan sengit dari negara-negara maju. Mereka langsung menggugat Indonesia lewat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). 

"Ini jelas barang kita, masa kau larang? Emang kau pikir Indonesia apa? Siapa lu? Saya debat sama mereka," ujarnya.

Indonesia akhirnya terpaksa bertempur di pengadilan WTO lewat upaya banding, usai kalah di pengadilan tingkat pertama.

"Jadi kita harus fight, kalau CPO kita udah menang di WTO, nikel belum," pungkasnya.

Baca Juga: Terus Kembangkan Hilirisasi Nikel, Pemerintah Alami Sejumlah Kendala

Di sisi lain, Bahlil menceritakan kerugiannya akibat kebijakan larangan ekspor nikel. "Saat itu ada 300 ribu ton yang siap diekspor ke China, namun tak jadi diekspor," ungkapnya.

Ia menyebut keuntungan bersih per 1 ton ekspor nikel mencapai sebesar US$ 15 juta. Jika ekspor dihentikan, maka keuntungan bersih yang hilang sebesar US$ 4,5 juta.

"Saya langsung melapor bapak Presiden, sekalipun saya tahu perusahaan saya rugi karena kebijakan. Tapi untuk kedaulatan bangsa maka saya siap untuk memutuskan melarang ekspor nikel," terang Bahlil.

Editor
Komentar
Banner
Banner