Penetapan HET Beras

HET Beras Terbaru, AEPI: Menyusahkan Pedagang dan Penggilingan Beras

Pengamat Pertanian AEPI Khudori menjelaskan penetapan HET Beras baru berdampak negatif bagi petani dan penggilingan beras.

Featured-Image
Dinas TPH pastikan Kalsel tak impor beras dari Thailand dan Vietnam. Foto-dokumen

bakabar.com, JAKARTA - Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menjelaskan dampak buruk dari penetapan harga eceran tertinggi (HET) Beras terbaru yang ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan HET tersebut berdampak negatif terhadap petani dan penggilingan beras.

Pasalnya, ongkos modal oleh pedagang dan penggilingan beras masih lebih tinggi dari pada HET yang ditetapkan pemerintah. Buntutnya mereka harus kembali melakukan penyesuaian dengan harga terbaru.

"Bahkan penggilingan dan pedagang beras masih trauma dengan kehadiran Satgas Pangan untuk mengamankan HET. Artinya mereka harus menyesuaikan ulang harga eceran beras terbaru," ujarnya saat dihubungi, Senin (3/4).

Sebelumnya, pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) secara resmi memberlakukan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras. Hal itu menyusul terbitnya Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 7 Tahun 2023 tentang Harga Eceran Tertinggi Beras.

Baca Juga: April 2023, Pemerintah Tetapkan HET Beras di Kisaran Rp10.900-Rp14.800

Dalam Perbadan tersebut, pemerintah mengatur HET beras berdasarkan zonasi. Untuk Zona 1 meliputi Jawa, Lampung, Sumsel, Bali, NTB, dan Sulawesi, HET beras medium senilai Rp. 10.900/kg sedangkan beras premium Rp. 13.900/kg.

Sementara itu, untuk Zona 2 meliputi Sumatera selain Lampung dan Sumsel, NTT, dan Kalimantan, HET beras medium sebesar Rp. 11.500/kg dan beras premium Rp.14.400/kg.

Adapun zona 3 meliputi Maluku dan Papua, HET beras medium sebesar Rp. 11.800/kg, dan untuk beras premium sebesar Rp. 14.800/kg.

Khudori menilai langkah pemerintah memberlakukan HET beras terbaru sebagai langkah yang kurang efektif.

Baca Juga: Stok Beras di Pasar Cipinang, Bapanas Pastikan Harga di Bawah HET

Mengacu pada Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), dari September 2017 hingga Maret 2023, harga beras selalu lebih tinggi daripada HET yang ditetapkan pemerintah.

"Kalau hampir 5,5 tahun berlalu tak efektif, kenapa HET beras tetap diberlakukan? Apakah masih perlu trial and error lagi? Bukankah sudah banyak penggilingan yang gulung tikar?" tanya Khudori.

Selain itu, ia menilai penetapan HET beras pada jenis premium kurang tepat. Alasannya, beras premium kebanyakan dikonsumsi oleh kaum menengah ke atas, bukannya golongan ekonomi menengah ke bawah.

"Karena itu harga jualnya lebih mahal dan segmen yang dibidik pengelola beras mereka yang berduit. Mengapa negara mesti sibuk mengurus konsumen tajir yang tak terkendala daya beli. Bukankah mereka membeli nilai tambah dan ekslusivitas?" ujar Khudori.

Editor
Komentar
Banner
Banner