Oleh Fauzi Rohmah, S. Pd
Menulis untuk kenaikan pangkat itu bikin repot!
Bukan rahasia umum lagi jika sebagian guru berharap kenaikan pangkat dan golongan tanpa syarat publikasi karya ilmiah. Alasannya? Karena dianggap sulit.
Pembahasan ini sudah tidak asing di lingkungan guru, baik di kantor atau di kantin. Bahkan, di media sosial, topik ini tidak pernah habis untuk diperbincangkan. Pemikiran tentang publikasi karya ilmiah yang menyulitkan guru ini barangkali dilatarbelakangi oleh rasa malas. Rasa malas tumbuh bukan hanya karena kurangnya waktu untuk menulis karya ilmiah, tetapi juga rasa malas untuk mengembangkan diri menjadi guru yang profesional.
Biasanya, rasa malas menulis dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya sibuk dengan rutinitas dinas. Dulu, guru cukup mengajar, lalu pulang. Sekarang, guru banyak dituntut membuat dan menyiapkan perencanaan sebelum mengajar, mencari media dan alat peraga yang tepat, membuat soal, dan mengevaluasi hasil belajar. Itu belum ditambah dengan adanya beberapa pemberkasan seperti sertifikasi, penyusunan Sasaran Kinerja Guru (SKP), mengisi kuisioner Penjamin Mutu Pendidikan (PMP), dan lain sebagainya. Guru membawa pulang pekerjaan sekolah ke rumah. Lalu kapan waktu menulisnya?
Faktor lain yang menyebabkan guru malas menulis, karena sulit mencari ide tulisan dan kurangnya kemampuan untuk menulis. Terkadang di tengah aktivitas yang padat, kita menyisihkan waktu 1 atau 2 jam untuk menulis. Tetapi saat ingin memulai tulisan bagian pembuka, tiba-tiba blank dan tidak mendapatkan ide tulisan. Kebingungan untuk mengawali tulisan itu akhirnya berakibat keinginan untuk menulis hanya tinggal rencana.
Kemalasan guru dalam menulis barangkali juga disebabkan kurang percaya diri dengan karya sendiri. Perasaan yang sebenarnya wajar dialami para penulis pemula. Rasa takut salah menjadi momok yang menciutkan rasa percaya diri. Lingkungan kerja yang kurang mendukung juga menjadi penyebabnya.
Padahal, idealnya lingkungan kerja menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan kreativitas guru. Di sekolah, tidak jarang saat kita sibuk di depan laptop maka akan menghadirkan ledekan teman sejawat seperti, "wah, sok sibuk, ya!" atau mendatangkan sebuah prasangka buruk "emangnya tugas wajib sudah selesai?". Pemikiran sebagian guru masih kuno, bahwa guru tugasnya cukup dengan mengajar dan menyelesaikan tugas adminstrasi sekolah. Jadi, kegiatan menulis dianggap hanya membuang waktu saja.
Terakhir, rasa malas menulis itu ada karena kurangnya penghargaan, sehingga guru tidak mempunyai motivasi untuk menulis. Hal ini dapat dilihat, saat kita memublikasikan karya tulis secara online, banyak orang yang tidak bertanggung jawab melakukan plagiasi. Akhirnya, guru yang sudah mulai menulis, menjadi malas karena ide-idenya telah dicuri.
Beberapa hal di atas nampak jelas akar masalah lahirnya rasa malas menulis. Akhirnya, pada proses kenaikan pangkat yang mensyaratkan adanya publikasi karya ilmiah atau artikel yang terbit di media cetak atau media online guru mengambil jalan pintas dan cepat, tetapi bukanlah cara yang tepat untuk dilakukan. Oknum guru membeli karya orang lain untuk dipublikasikan. Hal ini bukan budaya baru lagi di kalangan sebagian ASN, bahkan belakangan kian tumbuh subur. Sebagian oknum guru lebih merasa nyaman dan simpel, tanpa harus berpikir keras meski rela untuk menggelontorkan uang yang tidak sedikit untuk sebuah karya tulis ilmiah.
Di dunia pendidikan, praktik jual-beli tulisan menjamur di kalangan guru. Ini tentu memprihatinkan. Sejatinya, guru adalah digugu dan ditiru oleh anak didiknya. Pepatah lama mengatakan, guru kencing berdiri murid kencing berlari. Ungkapan ini menggambarkan bahwa teladan yang tidak baik dari guru akan mudah diikuti oleh anak didiknya. Tentu dapat kita lihat, jika gurunya saja malas menulis, lalu bagaimana dengan anak didiknya? Bagaimana seorang guru dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan kemampuan menulis, sedang ia tidak mampu memotivasi diri sendiri?
Jadi, tidak heran jika kegiatan mencontek dan plagiasi pun tumbuh subur di lingkungan peserta didik. Mereka malas untuk berpikir kreatif dan malas menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan karena tidak ada dorongan dari guru. Lalu, bagaimana wajah pendidikan di Indonesia jika guru dan peserta didik sama-sama 'nyaman' dengan rasa malas?
Seyogyanya kita sebagai guru tidak hanya pandai menuangkan ide-ide secara verbal saja, tapi juga harus mampu mengembangkan ide dalam bentuk tulisan. Kita juga harus mampu mengatur waktu antara mengajar, kegiatan administrasi, dan kegiatan untuk mengembangkan diri, sehingga kita sebagai guru dapat mengeksplor kemampuan dalam menulis karya ilmiah pun tulisan lainnya.
Sebagai guru, kita juga harus melakukan pembiasaan di bidang menulis. Menulis dan terus menulis kunci untuk memudahkan guru menuangkan ide-ide yang berseliweran dalam kepalanya.
Solusi yang paling utama untuk membuang rasa malas menulis, yaitu memotivasi diri sendiri untuk mengembangkan kompetensi profesional sebagai guru. Kita tidak boleh merasa puas dengan kemampuan di bidang materi pelajaran saja, tapi juga harus mampu mengembangkan diri sebagai wujud teladan yang akan meningkatkan motivasi siswa dalam kemampuan menulis, sehingga di dalam dunia pendidikan guru harus merasa malu jika malas untuk menulis.
Kemampuan menulis bagi guru sebagai cermin jati diri dan karakteristik seorang ASN, baik dilihat dari segi ide, proses, dan hasil. Oleh karena itu, bagi guru yang belum mampu menulis teruslah berlatih, karena dengan pembiasaan berlatih itulah guru dapat mengembangkan diri di bidang kepenulisan dan bidang kompetensi profesional. Kemalasan yang selama ini tumbuh hendaknya dibasmi dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Jangan sampai bergeser menjadi pandangan buruk, jika guru malas menulis itu mah biasa.
Sebagai guru, kita harus keluar dari zona nyaman. Guru mengajar itu, sudah biasa. Guru yang mampu menulis, itu luar biasa.
*
Penulis adalah Guru di SMPN 1 Kusan Hilir, Tanah Bumbu.