Opini

Generasi Milenial, Kok, Suka Latah?

Oleh : Rizki Widiastuti, S. Pd. “Anjay, mobil itu keren bingit!” Familierkah kalian dengan kata anjay?…

Featured-Image
Ilustrasi: Istimewa

Oleh : Rizki Widiastuti, S. Pd.

“Anjay, mobil itu keren bingit!"

Familierkah kalian dengan kata anjay? Kata ini ada di sekitar kita dan makin populer di telinga masyarakat Indonesia setelah Rizky Billar dan Lesty Kejora kerap melontarkannya dalam berbagai kesempatan. Selama ini, kata tersebut memang sering digunakan oleh beberapa orang, khususnya kalangan remaja yang katanya generasi milenial itu.

Kata anjay juga ramai diperbincangkan di media sosial. Perdebatan tentang kata tersebut muncul dari seorang youtuber bernama Lutfi Azigal. Melalui videonya, Lutfi menjelaskan bahwa anjay berasal dari kata dasar "anjing". Dia khawatir penggunaan yang tidak tepat dapat merusak moral bangsa. Di mata Lutfi Agizal, anjay memiliki konotasi negatif. Dia pun secara terang-terangan menyindir agar para publik figur tidak lagi mengucap kata tersebut karena bisa merusak moral bangsa. Motivasinya melakukan itu ialah untuk mencerdaskan perilaku anak bangsa.

Meskipun sempat menuai kontroversi, tapi peryataan Lutfi Agizal tersebut sesuai dengan fakta. Sebab, kebanyakan remaja di Indonesia memang lebih suka menggunakan bahasa gaul daripada Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Fakta itu bisa dilihat di sekitar kita. Dan kita bisa menemuinya dengan mudah.

Bukankah bahasa menunjukkan kualitas suatu bangsa? Artinya baik buruknya bahasa dan tingkah laku seseorang, menunjukkan tinggi rendahnya martabat bangsa itu (Musyi, 2005:3). Artinya orang yang tidak bisa menggunakan bahasa nasional dengan benar berpotensi menjatuhkan martabat bangsanya sendiri.

Ada banyak sekali masalah yang dihadapi oleh seseorang ketika harus berbicara dengan bahasa lisan. Khususnya generasi milenial saat ini yang secara spontan melatahkan jargon-jargon gaul dan alay di masyarakat. Mereka beranggapan mereka yang tidak menggunakan bahasa tersebut dianggap tidak keren. Bahasa Indonesia telah dimodifikasi sedemikian rupa. Itulah yang selama ini dianggap sebagai kambing hitam rusaknya bahasa Indonesia.

Namun, sebelum terlalu jauh menyalahkan bahasa gaul sebagai perusak Bahasa Indonesia, sebaiknya kita lihat lagi apakah bahasa tersebut memiliki konotasi positif apakah negatif. Sebenarnya tak masalah kita menggunakan bahasa gaul dalam ragam percakapan sehari-hari. Namun, jadi PR besar bagi generasi milenial saat ini, sudah pandaikah mereka berbahasa Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional negaranya sendiri dan bangga menggunakannya?

Sudah selektifkah memilah bahasa gaul yang baik digunakan sebagai percakapan sehari- sehari? Jangan hanya karena ingin terlihat tampil keren dan gaul saja, lalu dengan sembarangan menggunakan bahasa gaul, sementara bahasa tersebut memiliki konotasi yang tidak baik.

Anak-anak muda kita perlu pendampingan dari berbagai pihak untuk penggunaan bahasa yang tak hanya benar, tapi juga positif. Tentu yang paling berperan penting adalah bimbingan dari orang tua. Pendidikan yang utama datang dari sini. Perlunya pengawasan orangtua agar anak-anaknya pada saat menonton TV atau juga menggunakan media sosial dari gawai mereka, mengajarkan berbudi bahasa yang sopan dan santun dan menegur bahasa mereka apabila tidak pantas. Selanjutnya, sekolah sebagai tempat memperoleh pendidikan kedua yang mana dari guru juga berperan terhadap terbentuknya karakter anak, khususnya dalam berbahasa yang baik di lingkungan sekolah.

Pesan untuk generasi milineal yang akan melanjutkan perjuangan bangsa ini: banggalah menggunakan Bahasa Indonesia, karena memilih bahasa yang sepantasnya melambangkan jati diri kira sendiri.

Bijaklah dalam berbahasa. Jangan hanya latah!

*
Penulis adalah Guru SMPN 1 Sungai Loban, Kabupaten Tanah Bumbu.



Komentar
Banner
Banner