bakabar.com, JAKARTA - Ferdy Sambo barangkali tak pernah menyangka ada hukuman mati menanti di balik karier kepolisiannya nan cemerlang. Eks Kadiv Propam itu pun, boleh jadi, tak pernah menduga namanya bakal tercatat dalam sejarah.
Bukan dalam konotasi positif, melainkan sebagai jenderal polisi pertama yang divonis pidana mati. Jenderal bintang dua itu harus menelan pil pahit imbas tindakannya sendiri: menghabisi nyawa sang ajudan, Brigadir J.
“Sejak berdirinya republik, ini kasus pertama jenderal polisi dihukum mati karena kasus pidana umum pembunuhan berencana,” demikian peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, merawikan torehan ‘prestasi’ Sambo, ditulis Selasa (14/1).
Pernyataan serupa juga ditegaskan Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti. “Seingat saya, iya,” singkatnya mengonfirmasi perihal titel Sambo sebagai jenderal polisi pertama sejak era reformasi yang dihukum mati.
Dari kedua pernyataan tersebut, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi terkait predikat Sambo yang baru: kasus pembunuhan berencana dan era reformasi. Di luar itu, sang suami Putri Candrawathi bukanlah jenderal pertama yang dihukum mati.
Baca Juga: Ferdy Sambo-Putri Rentan Bunuh Diri
'Deja Vu' Vonis Mati Brigjen Soetarto
Vonis yang dijatuhkan pada Ferdy Sambo juga pernah dirasakan Sugeng Soetarto, polisi berpangkat Brigadir Jenderal alias Brigjen. Dirinya merupakan loyalis Presiden Soekarno.
Saking setianya, dia sempat didapuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Di institusi kepolisian sendiri, karier Soetarto boleh dibilang begitu cemerlang: pernah memimpin Kepolisian Semarang, pun sempat menjabat Kepala Intelijen Kepolisian.
Sayang, karier yang demikian berakhir seiring lengsernya Bung Karno dari kursi pemimpin tertinggi. Tepatnya pada 1966, Soetarto ditangkap lantaran diduga terlibat dalam peristiwa G30S-PKI.
Keterlibatan Brigjen Soetarto bermula dari isu Dewan Jenderal yang terus 'digoreng' meski Jenderal Ahmad Yani sudah membantahnya. Isu itu makin panas setelah muncul dokumen Gilchrist.
Dokumen itu ditemukan di depan pintu rumah Kepala BPI Subandrio. Dalam 'surat' yang ditujukan kepada atasannya tersebut, Duta Besar Inggris, Andrew Gilchrist, menulis soal operasi bersama antara Inggris dan Amerika Serikat dengan 'our local army friends.’
Berlandaskan tudingan yang demikian, Soetarto harus mendekam di penjara bertahun-tahun lamanya. Sampai akhirnya, pada 1973, sang jenderal menjalani sidang di Mahkamah Militer Luar Biasa.
Dalam persidangan tersebut, pengadilan menghadirkan Subandrio, yang merupakan atasan langsung Soetarto, sebagai saksi. Kesaksiannya menyudutkan sang Brigjen, di mana dirinya mengaku tak kenal akrab dan hubungan keduanya hanya sebatas perintah Bung Karno.
Alhasil, Mahkamah Militer Luar Biasa memutuskan Soetarto bersalah. Dalihnya, sang jenderal dinilai memberikan kesempatan pada pihak lain untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Hakim lantas menjatuhkan vonis pidana mati kepada Soetarto.
Beruntung, nasib berkata lain; Soetarto tak jadi dieksekusi mati. Pada tahun 1980, hukuman mati untuk Soetarto diubah menjadi pidana penjara seumur hidup, bersama Soebandrio dan Omar Dani, mantan staf Angkatan Udara.
Belum cukup sampai di situ, istri-istri mereka mengajukan grasi. Presiden Soeharto yang kala itu memegang kuasa tertinggi lantas mengabulkan permintaan tersebut. Sehingga, ketiganya dibebaskan dari jeruji besi pada 15 Agustus 1995.